Kamis, 28 Februari 2013

AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

DEVINISI AHLUSUNNAH WALJAMA’AH Dari segi bahasa, ahlussunnah berarti penganut sunnah Nabi, sedangkan ahlul jama’ah berarti penganut kepercayaan jama’ah para sahabat Nabi. Karena itu, kaum “Ahlussunnah wal Jama’ah” (ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah) adalah kaum yang menganut kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Kepercayaan Nabi dan sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi secara terpencar-pencar, yang kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama besar, yaitu Syeikh Abu al-Hasan al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun). Menurut Dr. Jalal Muhammad Musa dalam karyanya Nasy’ah al-Asy’âriyyah wa Tathawwurihâ, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah (Ahlussunnah wal Jama’ah) mengandung dua konotasi, ‘âmm (umum/global) dan khâshsh (spesifik). Dalam makna ‘âmm, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembanding Syi’ah, termasuk Mu’tazilah dan kelompok lainnya, sedangkan makna khâshsh-nya adalah kelompok Asy’ariyah (pengikut mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari) dalam pemikiran kalam. Dr. Ahmad ‘Abd Allah At-Thayyar dan Dr. Mubarak Hasan Husayn dari Universitas Al-Azhar mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mendapat petunjuk Allah Swt., dan mengikuti sunnah Rasul, serta mengamalkan ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara praktik dan menggunakannya sebagai manhaj (jalan pikiran) dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. … وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا.. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. al-Hasyr: 7). Dengan arti seperti di atas, apa yang masuk dalam kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, pertama-tama adalah para sahabat Nabi, para tabi’in dan tabiit-tabi’in, serta semua orang yang mengikuti jalan Nabi Muhammad Saw. sampai hari kiamat kelak. Al-Ustadz Abu al-Faidl ibn al-Syaikh ‘Abd al-Syakur al-Sanori dalam karyanya kitab al-Kawâkib al-Lammâ’ah fî Tahqîq al-Musammâ bi ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah’ menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa setia mengikuti sunnah Nabi Saw., dan petunjuk para sahabatnya dalam akidah, amaliah fisik (fiqh) dan akhlak batin (tashawwuf). Kelompok itu meliputi ulama kalam (mutakallimûn), ahli fikih (fuqahâ) dan ahli hadits (muhadditsûn) serta ulama tashawuf (shûfiyyah). Jadi, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah menurut ‘urf khâshsh (adat kebisaaan) adalah kelompok muhadditsin, shufiyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pengikut mereka inilah yang kemudian juga dapat disebut Ahlussunnah wal Jama’ah, dan selainnya tidak, dalam konteks ‘urf khâshsh tadi. Adapun menurut pengertian ‘âmm Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok atau golongan yang senantiasa setia melaksanakan sunnah Nabi Saw. dan petunjuk para sahabatnya. Dengan kata lain, substansi Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mereka yang memurnikan sunnah, sedangkan lawannya adalah ahli bid’ah (ahl al-bid’ah). Ahmad Amin dalam Zhuhr al-Islâm, juga menjelaskan bahwa sunnah dalam istilah ahl al-sunnah berarti hadis. Oleh karena itu, berbeda dengan kaum Mu’tazilah, Ahlussunnah percaya terhadap hadis-hadis sahih, tanpa harus memilih dan menginterpretasikannya. Adapun Jamâ’ah, dalam pandangan al-Mahbubi, adalah umumnya/mayoritas umat Islam (‘âmmah al-muslimîn) serta jumlah besar dan khalayak ramai (al-jamâ’ah al-katsîr wa al-sawâd al-a’zham). Secara lebih terperinci, al-Baghdadi menegaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah terdiri dari 8 (delapan) kelompok besar, yaitu: mutakallimin, fuqaha, ahli hadis, ahli bahasa, ahli qira’at, sufi atau zahid, mujahid, dan masyarakat awam yang berdiri di bawah panji-panji AhlussunnahwalJama’ah. Dua definisi ini menggambarkan adanya definisi yang bersifat terminologis (ishthilâhiy) dan definisi yang bersifat substantif. Ini artinya, dalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ada aspek jawhar atau hakekat dan ada aspek ‘ardl atau formal. Dalam dua aspek ini, apa yang mendasar adalah aspek jawhar-nya, sedangkan aspek ‘ardl-nya dapat mengalami revitalisasi dan pembaruan, karena terkait dengan faktor historis. Seperti diketahui, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah muncul berkaitan dengan hadirnya mazhab-mazhab, sehingga ketika hasil pemikiran mazhab yang bersifat relatif, atau tidak absolut itu mengalami revitalisasi, maka pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah pun harus dikembalikan kepada arti substansinya. Pengertian substansi Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks akidah adalah paham yang membendung paham akidah Syi’ah (dalam konteks historis juga paham akidah Mu’tazilah) yang dinilai sebagai kelompok bid’ah, yakni kelompok yang melakukan penyimpangan dalam agama karena lebih mengutamakan akal dari pada naql (Qur’an) dalam merumuskan paham keagamaan Islamnya. Dengan demikian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah secara substantif adalah kelompok yang setia terhadap sunnah, dengan menggunakan manhaj berpikir mendahulukan nashsh daripada akal. Sebagai gerakan, sebelum diinstitusikan dalam bentuk mazhab, kelompok ini melakukan pembaruan paham keagamaan Islam agar sesuai dengan sunnah atau ajaran murni Islam (purifikasi), sehingga orang Barat menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah dengan orthodox Sunni school. Di antara kelompok yang berhasil melakukan pembaruan seperti ini adalah pengikut Imam al-Asy’ari (Asy’ariyah). PENGERTIAN ASWAJA Bismillaahirrohmaanirrohiim Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunnah wal jama'ah. ada tiga kata yg membentuk kata tersebut. 1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut. 2. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yg datang dari Nabi Muhammad yang berupa perbuatan, ucapan, dan pengakuan Nabi Muhammad. 3. Al-Jama'ah, yaitu apa yg disepakati oleh para sahabat Rosulullah pd masa Khulafaur Rosyidin (Abu Bakar, Umar bin Khottob, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib) Kata al-Jama'ah ini diambil dari sabda Nabi saw: "Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yg damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-Jama'ah (HR. Tirmidzi dan Hakim, hadits shohih menurut al-Dzahabi) Syekh Abdul Qodir al-Jaelani (471-561 H) menjelaskan: "Al-Sunnah adl apa yg telah diajarkan oleh Rosulullah saw. (meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama'ah adalah segala sesuatu yg telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi saw. pada masa Khulafaur Rosyidin yang empat, yg telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kpd mereka semua) (Al-Ghunyah li Tholibi Thoriq al-Haqq, Juz 1, hal 80) Lebih jelas lagi hadratus syekh KH. Hasyim Asy'ari (1287-1336 H) menyebutkan dalam kitabnya Zidayat Ta'liqot hal. 23-24, sebagai berikut: "Adapun Ahlussunnah wal Jama'ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqh. Merekalah yg mengikuti dan berpegang teguh dg sunnah Nabi saw. dan sunnah Khulafaur Rosyidin sesudahnya. Mereka adalah kelompok yg selamat (al-Firqoh al-Najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu madzhab Hanafi, Syafii, Maliki dan Hanbali." Pada hakikatnya ajaran Nabi saw. dan para sahabatnya tentang aqidah itu sudah termaktub dalam al-Qur'an dan Sunnah. Akan tetapi masih berserakan dan belum tersusun secara sistematis. Baru pada masa setelahnya, ada usaha dari ulama' Ushuluddin yg besar yaitu Imam Abu Hasan al-Asy'ari yg lahir di Bashra tahun 260 H dan wafat tahun 324 H, juga Imam Abu Mansur al-Maturidi yg lahir di Maturid, Samarkand, Uzbekistan, dan wafat tahun 333 H, Ilmu Tauhid dirumuskan secara sistematis agar mudah dipahami. Kedua ulama' tersebut menulis kitab2 yg cukup banyak. Imam al-Asy'ari misalnya, menulis kitab al-ibanah 'an Ushul al-Diniyah, Maqolat al-Islamiyyin, dll. Sedangkan Imam al-Maturidi menulis kitab al-Tauhid, Ta'wilat Ahl al-Sunnah, dll. Karena jasa yg besar dari kedua ulama' tersebut, sehingga penyebutan Ahlussunnah wal Jama'ah selalu dikaitkan dengan kedua ulama' tersebut. Sayyid Murtadha al-Zabidi mengatakan: "Jika disebut Ahlussunnah wal jama'ah, maka yg dimaksud adl para pengikut Imam al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi (Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, juz 2 hal. 6) Pesantren2 di Indonesia secara umum mengajarkan Ilmu Tauhid menurut rumusan Imam al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi dengan menggunakan kitab yg lebih sederhana dan ditulis oleh para pengikut kedua imam tersebut, seperti kitab Kifayatul 'Awam, Ummul Barohain, 'Aqidatul 'Awam, dll. Dari penjelasan di atas, dpt dipahami Ahlussunnah wal jama'ah bukanlah aliran baru yg muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yg menyimpang dari ajaran Islam yg sebenarnya. Tetapi Ahlussunnah wal Jama'ah adalah Islam yang murni sebagaimana yg diajarkan Nabi saw. dan sesuai dg apa yg telah digariskan dan diamalkan oleh para sahabatnya. Aswaja merupakan singkatan akronim dari kata Ahlusunnah Waljamaah, yang oleh sebagian orang juga diringkas menjadi Sunni. Dalam pengertian praktisnya, Aswaja adalah golongan terbesar (al-sawad al-a’zham) dari umat Islam yang bersifat sinambung dari zaman ke zaman, yang memahami, mengamalkan, mempertahankan, dan mendakwahkan ajaran agama berdasarkan haluan keteladanan yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaih wa alihi wa sallam dan para sahabat radliyallahu ‘anhum ajma’in. Apa yang dimaksud haluan keteladanan ini memang masih abstrak (tidak tampak) sehingga menjadikan setiap golongan atau aliran merasa berhak menyatakan diri sebagai Aswaja. Cuma, sebagian ada yang mengidentifikasikan diri kepada Aswaja itu secara formal, dalam arti secara nama ingin disebut Ahlusunnah waljamaah, Sunni, atau Aswaja, dan sebagian lain hanya ingin mengidentifikasikan diri mereka secara substansial saja, dalam arti bahwa meskipun mereka tidak menamakan diri sebagai orang Sunni, Aswaja, atau Ahlusunnah, namun mereka tetap merujuk kepada hadis tentang firqah dan mengklaim merekalah golongan yang selamat itu. Di sinilah menurut beberapa penulis posisi kaum Syi’ah yang meskipun secara formal tidak mau disebut Ahlusunnah, namun secara substansial justru sangat mengakuinya. Bagaimanapun saling silang-sengketa tentang golongan atau aliran mana yang betul-betul Ahlusunnah, namun jika ditinjau dari segi perkembangan dan perbandingannya dengan berbagai aliran yang pernah muncul dalam sejarah umat Islam sejak masa awal, dapat dipahami secara umum bahwa nilai yang menjadi dasar atau karakter Ahlusunnah Waljamaah (Aswaja) setidaknya terdiri atas nilai i’tidal (keadilan/istiqamah), tawasuth, (penengah/moderat), tawazun (seimbang/proporsional), dan tasamuh (lapang dada/toleran). Di mana dapatnya? Sejarah yang menjadi saksi, karena jika mau memfokuskan kajian kepada sejarah Islam awal, pasca wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam sesungguhnya telah jelas di mana posisi para sahabat. Riwayat-riwayat yang menceritakan kronologi demi kronologi sampai peristiwa di daumah al-jandal pada ‘am al-jamaah sesungguhnya bisa dikumpulkan dan disusun secara lebih sistematis sehingga melahirkan rekonstruksi sejarah Aswaja pada zaman yang paling awal. Oleh karena itu, sungguhpun keempat nilai tersebut di atas tidak mencerminkan Aswaja secara mutlak, tetapi paling tidak ia telah terbukti memainkan peran penting dalam membingkai berbagai persoalan besar yang melibatkan agama, sehingga menjadi jelas perbedaannya dari aliran-aliran lainnya. Lihat misalnya khawarij, saba’iyyah, dan sebagainya yang sudah merupakan aliran akidah sehingga pantas disebut firqah, karena memang menyelisihi arus umum keberagamaan para sahabat secara akidah. Kemudian daripada itu, tinjauan secara kebahasaan menunjukkan bahwa keempat nilai dasar itu, yakni istilah i’tidal, tawasuth, dan tawazun sebenarnya dapat dirujuk kepada akar istilah sunnah yang menjadi satu identitas utama Aswaja, di samping istilah tasamuh yang merujuk kepada akar istilah jama’ah. Keempat istilah inilah yang secara tidak langsung membentuk satu bangunan identitas, yakni Ahlusunnah Waljamaah. Di samping itu, istilah jamaah juga diungkapkan dalam hadis lain sebagai al-sawad al-a’zham, yaitu mainstream atau arus umum sistem keberagamaan umat Islam. Inilah makna yang lebih tepat bagi Aswaja. Sejak zaman sahabat terdapat arus umum keberagamaan mereka yang diikuti oleh para tabiin, hatta dalam keadaan perang saudara sekalipun. Buktinya, ketika perang Jamal dan perang Shiffin, umat Islam memang terpecah kepada dua golongan yang saling berperang, meskipun akhirnya setelah peristiwa di daumah al-Jandal kembali bersatu. Kedua gololongan ini masih dalam arus umum, karena seluruh sahabat berada di salah satu antara dua golongan itu, meskipun faktanya ada sebagian sahabat yang secara fisik tidak melibatkan diri dalam perang. Adapun khawarij yang menyatakan keluar dari kedua golongan itu? Sejarah membuktikan tidak ada seorang sahabat pun yang pernah menerima dan mengakui keberadaan Khawarij, apalagi sampai ikut bergabung dengan mereka. Setelah menelaah dari berbagai referensi dan rujukan yang secara spesifik menjelaskan pengertian Ahlussunnah wa Al Jamaah, bisa difahami bahwa definisi Ahlussunnah wa Al jamaah ada dua bagian yaitu: definisi secara umum dan definisi secara khusus . * Definisi Aswaja Secara umum adalah : satu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik ( fiqih) dan hakikat ( Tasawwuf dan Ahlaq ) . * Sedangkan definisi Aswaja secara khusus adalah : Golongan yang mempunyai I’tikad / keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya’iroh dan Maturidiyah. Pada hakikatnya definisi Aswaja yang secara khusus bukan lain adalah merupakan juz dari definisi yang secara umum, karena pengertian Asya’iroh dan Ahlussunnah adalah golongan yang komitmen berpegang teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal aqidah. namun penamaan golongan Asya’iroh dengan nama Ahli sunnah Wa Al Jamaah hanyalah skedar memberikan nama juz dengan menggunakan namanya kulli. Syaih Al Baghdadi dalam kitabnya Al Farqu bainal Firoq mengatakan : pada zaman sekarang kita tidak menemukan satu golongan yang komitmen terhadap ajaran Nabi dan sahabat kecuali golongan Ahlussunnah wal jamaah. Bukan dari golongan Rafidah, khowarij, jahmiyah, najariyah, musbihah,ghulat,khululiyah, Wahabiyah dan yang lainnya. Beliau juga meyebutkan; bahwa elemen Alussunnah waljamaah terdiri dari para Imam ahli fiqih, Ulama’ Hadits, Tafsir, para zuhud sufiyah, ulama’ lughat dan ulama’-ulama’ lain yang berpegang teguh paa aqidah Ahli sunnah wal jamaah. secara ringkas bisa disimpulkan bahwa Ahlu sunnah wal jamaah adalah semua orang yang berjalan dan selalu menetapkan ajaran Rasulullah SAW dan para sahabat sebagai pijakan hukum baik dalam masalah aqidah, syari’ah dan tasawwuf. II. Pengertian Sunnah dan ajaran-ajarannya Kalimat Sunnah secara etimologi adalah Thoriqoh ( jalan ) meskipun tidak mendapatkan ridlo. Sedangan pengertian Sunnah secara terminlogi yaitu nama suatu jalan yang mendapakan ridlo yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW, para khulafa’ al Rosyidin dan Salaf Al Sholihin. Seperti yang telah disabdakan oleh Nabi : عَلَيكُمْ بِسُنَّتيِ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي Ikutilah tindakanku dan tindakan para khlafaurrosyidin setelah wafatku. Sedangkan pengertian kalimat Jamaah adalah golongan dari orang-orang yang mempunyai keagungan dalam Islam dari kalangan para Sahabat, Tabi’in dan Atba’ Attabi’in dan segenap ulama’ salaf As solihin. Setiap ajaran yang berdasarkan pada Usul Al syari’ah dan Fur’nya dan pernah dikerjakan oleh para nabi dan Sahabat sudah barang tentu merupakan ajaran yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wa aal jamaah seperti : Shalat Tarawih, witir, baca shalawat, ziarah kubur, mendo’akan orang yang sudah mati dll. III. Definisi Bid’ah Bid’ah dalam ma’na terminologi ( Syara’) menurut syaih Zaruq dalam kitabnya Iddah Al Marid yaitu semua perkara baru dalam agama yang menyerupai salah satu dari bentuk ajaran agama namun sebenarnya bukan termasuk dari bagian agama, baik dilihat dari sisi bentuknya maupun dari sisi hakikatnya. Dan pekara tersebut berkesan seolah-olah bagian dari jaran Islam seperti : membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan Shalat dengan diiringi alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan kaum mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham liberal yang marak akhir-akhir ini. Karena berdasarkan pada Ayat Al-Qur’an : " وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ البَيْتِ الاَّ مُكاَءً وَتَصْدِيَةً " الانفال 35 Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. QS: Al Anfal 35 Dan Hadits Nabi yang berbunyi: عن أم المؤمنين أم عبد الله عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ". Dari A’isyah RA. Rasulullah bersabda : barang siapa menciptakan hal baru dalam urusanku yang bukan termasuk dari golongan urusanku maka akan tertolak. HR. Bukhari dan Muslim Kalimat أحدث dalam Hadits diatas mengandung pengertian menciptakan dan membuat-buat suatu perkara yang didasari dari hawa nafsu. Sedangkan kalimat أمرنا mengandung suatu pengertian agama dan Syari’at yang telah di Ridlohi oleh Allah SWT. Rasulullah juga bersabda dalam sebuah Hadits : وروى مسلم في صحيحه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في خُطبَتِهِ : " خَيرُ الحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ, وَخَيرُ الهَدىِ هُدَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم, وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلُّ مُحْدَثةٍ بِدعَةٌ, وَكُلُّ بِدعَةٍ ضَلَالَةٌ" ورواه البيهقي وفيه زيادة " وكل ضلالة في النار" Rosululloh bersabda: “ paling bagusnya Hadits adalah Kitabnya Allah, dan paling bagusnya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW, dan paling jeleknya perkara adalah semua perkara yang baru, dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat”. HR. Muslim dan juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan tambahan kalimat “ setiap perkara sesat menempat dineraka” . Dari adanya dua Hadits diatas para ulama’ menjelaskan bahwa secara prinsip, bid’ah adalah berubahnya Suatu hukum yang disebabkan karena meyakini suatu perkara yang bukan merupakan bagian dari agama sebagai salah satu bagian dari agama, bukan berarti setiap perkara baru lantas dikategorikan bid’ah, karena banyak hal baru yang sesuai dengan Usul Al Syar’ah dan tidak dikategorikan bid’ah, atau hal-hal baru yang sesuai dengan Furu’ Al Syari’ah yang masih mungkin di tempuh dengan jalan Analogi atau qiyas sehingga tidak termasuk kategori Bid’ah . berarti tidak semua ritual yang baru serta-merta dikategorikan sebagai perbuatan bid’ah seperti ritual tahlil tujuh hari,40 hari dan seratus hari dari kematian mayat, ziarah kubur, tawassul, mendoakan orang mati dll. Imam Muhmmad Waliyuddin As Syabsiri dalam Syarah Arba’n Nawawi mengupas pengertian Hadits Nabi yang berbunyai : مَنْ أَحدَثَ حَدَثًا اَوْ آوَى مُحدثًا فَعَليهِ لَعْنَةُ اللهِ Barang siapa menciptakan perkara baru atau melindungi pencipta perkara baru mak dia berhak mendapatkan laknat Allah. Hadits tersebut diatas memasukkan berbagai bentuk bentuk bid’ah seper Aqad fasid, memberi hukum tanpa Ilmu, penyelewengan dan semua hal yang tidak sesuai dengan syari’at. Namun apabila perkara baru itu masih sesuai dengan qonun syari’at maka tidak termasuk kategori bid’ah seperti menulis mushaf, meluruskan madzhab, menulis ilmu nahwu ,Khisab dll. Syaih Izzuddin ibni Abdis Salam menggolongkan perkara baru ( Bid’ah ) menjadi lima hukum yaitu : 1. Bid’ah wajib seperti : mempelajari ilmu nawu, dan lafad-lafad yang ghorib dalam Al-Qur’an dn Hadits dan semua disiplin ilmu yang menjadi perantara untuk memahami syari’at. 2. Bid’ah Haram seperti : Faham Madzhab Qodariah, Jabariah dan Mujassimah. 3. Bid’ah Sunnah Seperti : Mendirikan Pondok, Madrasah dan semua perbuatan baik yang tidak pernah ditemukan pada masa dahulu. 4. Bid’ah Makruh Seperti : Menghias MAsjid dan Al-Qur’an. 5. Bid’ah Mubah seperti : Mushofahah (Jabat tangan) setelah Shalat Subuh dan Ashar dll. IV. Kriteria penggolongan Bid’ah Dalam menggolongkan perkara baru yang menimbulkan konsekwensi hukum yang berbeda-beda, Ulama’ telah membuat tiga kriteria dalam persoalan ini . 1. Jika perbuatan itu mempunyai dasar yang kuat berupa dalil-dalil syar’i, baik parsial ( juz’i ) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah, dan jika tidak ada dalil yang dibuat sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang. 2. Memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama’ salaf ( Ulama’ pada abad I,II dan III H , jika sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong Bid’ah. 3. Dengan jalan Qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliah yang telah ada hukumnya dari Nash Al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong Bid’ah yang diharamkan. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka tergolong perbuatan baru yang wajib. Dan begitu seterusnya. V. Hal-hal baru yang tidak tergolong Bid’ah Dari pengertian Bid’ah diatas, memberikan suatu natijah atau kesimpulan bahwa ada sebagian amal Bid’ah yang sesuai dengan syari’at dan justru ada yang hukumnya sunnat dan fardlu kifayah. Oleh sebab itu Imam Syafi’i berkata : " ما أَحْدَثَ وَخَالَفَ كِتَابًا اَو سُنَّةً او إِجمَاعًا او أثرًا فهو البِدْعَةُ الضَّالَّةُ, وَمَا أحْدَثَ مِنَ الخَيرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيئًا من ذلك فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُودَةُ " “ Perkara baru yang tidak sesuai dengan Kitab Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Atsar sahabat termasuk bid’ah yang sesat, dan perkara baru yang bagus dan tidak bertentangan dengan pedoman-pedoman tersebut maka termasuk Bid’ah yang terpuji “ 1. Ziarah kubur. Tidak diragukan sama sekali, bahwa hukum berziarah ke makam kerabat atau auliya’ adalah sunnah, dan hal ini telah disepakati oleh semua ulama’. Terdapat banyak Hadits yang menjelaskan kesunnahan ziarah kubur, diantaranya adalah : عن بريدة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " قَدْ كُنْتُ نَهَيتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمدٍ فيِ زِيَارةِ قَبرِ أُمِّهِ فَزُورُهَا فإنَّهَا تُذَكِّرُ الآخرةَ. رواه الترمذي “ dari Buraidah. Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda “ saya pernah melarang kamu berziarah kubur, tetapi sekarang Muhammad telah diberi izin untuk berziarah kemakam ibunya. Maka sekarang berziarahlah ! karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat. HR. Al Thirmidzi Ziarah kubur juga sunnah mu'akkad dilakukan di makam Rasulullah SAW dan juga makam para nabi yang lain, bahkan ada sebagian ulama' yang mewajibkan ziarah kubur kemakam Rasulullah SAW bagi orang yang mendatangi kota madinah. Namun sebaiknya ketika seseorang hendak melakukan ziarah ke makam Rosul hendaklah niat ziarah ke masjid Nabawi dan setelah itu baru melaksanakan ziarah ke makam Rosul dengan cara mengucapakan kalimat " السَّلاَمُ عَلَيكَ يَا رَسُولَ الله " dengan sura pelan dan penuh tata karma. Tersebut dalam sebuah Hadits: مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَمَاتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي } رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ ، وَابْنُ مَاجَهْ ،} Barang siapa berziarah padaku setelah wafatku, maka seakan akan dia berziarah padaku pada masa hidupku مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لهُ شَفَاعَتِي عن ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :"Dari Ibnu Umar RA. Sesungguhnya Rasulullah bersabda : barang siapa berziarah kemakamku, maka pasti akan mendapatkan Syafa'at ( pertolongan ) ku" HR. Al Thobroni 2.Tawassul. Kalimat Tawassul secara bahasa adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wasilah artinya adalah sesuatu yang dijadikan Allah SWT. Sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan pintu menuju kebutuhan yang diinginkan. Allah SWT berfirman : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. QS: Al Maidah : 35 Dengan demikian, tawassul tidak lebih dari sekedar upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, sedangkan wasilah adalah sebagai media dalam usaha tersebut. Tujuan utamanya tidak lain adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak ada sedikitpun keyakinan menyekutukan Allah SWT.( Syirik ). Kebolehan Tawassul juga telah disebutkan oleh Nabi dalam Haditsnya : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ," تَوَسَّلُوا بِي وَبِأَهْلِ بَيتيِ الىَ اللهِ فإنَّهُ لَا يُرَدُّ مُتَوَسِّلٌ بِنَا" " Rasulullah SAW bersabda : Bertawassullah kalian dengan aku dan dengan para keluargaku, sesungguhnya orang yang bertawassul dengan aku tidak akan ditolak"( HR.Ibnu Hibban ) 3. Tabarruk ( Mencari Berkah ) Secara Etimologi kata berkah berarti tambah, berkembang. Selanjutnya kata barokah digunakan dalam pengertian bertambahnya kebaikan dan kenuliyaan. Jadi Barokah adalah rahasia dan pemberian Allah SWT yang dengannya akan bertambah amal- amal kebaikan., mengabulkan keinginan, menolak kejahatan dan membuka pintu menuju kebaikan dengan anugrah Allah SWT. Dari pengertian ini barokah adalah bagian dari rahmat dan anugerah Allah SWT. Allah SWT berfirman : وَجَعَلَنيِ مُبَارَكًا أَيْنَمَا كُنْتَ. مريم 31 " Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada " QS : maryam 31 "رَحَمْةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيكُم أَهلَ البَيتِ "هود 73 " Rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait ! Para ulama' telah banyak membicarakan hukum mengambil barokah, dan berkesimpulan bahwa mengambil barokah dari orang , tempat atau benda hukumnya adalah boleh dengan syarat tidak dilakukan dengan cara-cara yang menyimpang syari'at Allah SWT. Berikut adalah dalil-dalil kebolehan mengambil berkah : وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. البقرة 248 Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.QS: Al-Baqarah 248 عن ابن جدعان: قال ثابت لأنس رضي الله عنه : أَمَسَسْتَ النبيَ صلى الله عليه وسلم قال نَعَمْ فَقَبَّلَهَا . رواه البخاري " Dari Ibnu Jad'an, berkata Tsabit kepada Anas ra : Apakah tanganmu pernah menyentuh Nabi SAW ? Anas menjawab : ya, maka Tsabit menciumnya ". HR. Bukhori Diriwayatkan oleh Al Khotib dari Ali dari Maimun, berkata : aku mendengar Imam Syafi'I berkata : " sesungguhnya aku mengambil barokah dari Abu Khanifah dan aku mendatangi makamnya setiap hari, maka jika aku mempunyai hajat, aku shalat dua rakaat dan mendatangi makam Abu Hanifah lalu berdo'a meminta kepada Allah SWT. Tidak lama kemudian hajatku terpenuhi". Kesimpulannya, mengambil barokah dari orang-orang yang shaleh adalah perbuatan yang terpuji. Apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi serta pengukuhan dari Rasulullah SAW cukup untuk dijadikan sebagai dalil. 4. Selamatan & Berdo'a untuk orang mati Ritual mendoakan orang mati sudah biasa dilakukan bahkan sudah menjadi adat orang jawa setiap kali ada salah satu keluarga yang meninggal mereka mengadakan selamatan dihari ke-7 atau ke-40 dari kematian keluarganya dengan mengundang tetangga setempat dan dimintai bantuan untuk membaca surat Yasin, Tahlil dan berdo'a untuk mayat. Hal tersebut diatas diperbolehkan menurut Syari'at, bahkan bagian dari amal ibadah yang pahalanya bisa sampai kepada yang meninggal. Bukankah bacaan Al-Qur'an, Tahlil dan bersedekah, menyajikan suguhan untuk para tamu adalah bagian dari amal Ibadah. Dalam sebuah Hadits dinyatakan : عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه, أَنَّ النَبِيَّ صلى عليه وسلم سُئِلَ فقال السَائِلُ يا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوتَانَا وَنَحُجُّ عَنهُمْ وَنَدْعُو لَهُمْ هَلْ يَصِلُ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ ؟ قَالَ : نَعَمْ إنَّهُ لَيَصِلُ إِلَيْهِمْ وَإِنَّهُمْ لَيَفْرَحُونَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بالطَّبْقِ إذاَ أُهْدِيَ إِلَيْهِمْ. رواه ابو حفص العكبري Dari Anas ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya seseorang: " wahai Rasulullah SAW, kami bersedekah dan berhaji yang pahalanya kami peruntukkan orang-orang kami yang telah meninggal dunia dan kami berdoa untuk merek, apakah pahalanya sampai pada mereka ? Rasulullah SAW menjawab : Iya, pahalanya betul-betul sampai kepada mereka dan mereka sangat merasa gembira sebagaimana kalian gembira apabila menerima hadiah. HR. Abu Khafs Al Akbari. VI. Sekilas Pembaharuan Agama Ketika keintelektualan lebih mengedepankan nafsu serta semangat yang menggebu-gebu dengan dalih memurnikan agama tanpa disertai dengan pemahaman agama secara benar, maka yang terjadi justru pembaharuan- pembaharuan yang menyimpang dari ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. pada pembahasan ini akan mengetengahkan pembaharu-pembaharu ( Mujaddid) Islam yang telah melakukan banyak penyimpangan dari ajaran Islam yang murni. 1. Faham Ibnu Taimiyah Di akhir masa 600 H, muncullah seorang laki-laki yang jenius yang telah banyak menguasai berbagai jenis disiplin ilmu, dialah Taqiyuddin ahmad bin Abdul Hakim yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Ia dilahirkan di desa Heran, sebuah desa kecil di Palestina. Ia hidup sezaman dengan Imam Nawawi salah satu ulama; terbesar madzhab Syafi'i. Ia merupakan sosok pribadi yang memiliki karakter pemberani, yang selalu mencurahkan segala sesuatu untuk madzhabnya, dengan keberanian yang ia miliki, ia telah menemukan hal baru yang sangat tabu dan jauh dari kebenaran, karena yang menjadi dasar pendiriannya ialah mengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits nabi Muhammad yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan menurut arti lafadznya yang dlohir, yakni hanya secara harfiyah saja, oleh sebab itu menurut Ibnu Taimiyah " Tuhan itu memiliki muka, tangan, rusuk dan mata, duduk bersila, dating dan pergi, tuhan adalah cahaya langit dan bumi karena katanya semua itu disebut dalam Al Qur'an". Kontroversi yang ia ucapkan tidak hanya terbatas pada permasalahan ilmu kalam, melainkan juga menyinggung beberapa permasalahan ilmu fiqih : * Bepergian dengan tujuan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat hukumnya maksiat * Talak tiga tidak terjadi ketika diucapkan dengan sekaligus ( hanya jatuh satu ) * Seorang yang bersumpah akan mencerai istrinya , lalu ia melanggar sumpahnya, maka perceraian itu tidak terjadi. 2. Faham Wahabi Pada pertengahan kurun ke 12 muncul seorang yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang berdomisili di Najd yang termasuk kawasan Hijaz, ia dilahirkan pada tahun 1111 H, dan meninggal pada tahun 1207 H. pada mulanya ia memperdalam ilmu agama dari ulama'-ulama; ahli sunnah di makkah dan madinah termasuk diantaranya adalah syaih Muhammad Sulaiman Al Kurdi dan syaih Muhammad Hayyan Assindi, diantara guru yang pernah mengajarkan ilmu kepadanya, jauh sebelum ia membuat pergerakan telah berfirasat kalau disuatu hari nanti ia tergolong orang yang sesat dan menyesatkan, itupun akhirnya menjadi kenyataan, firasat ini juga dirasakan oleh ayah dan saudaranya ( Syeh Sulaiman ). Muhammad bin Abdul Wahab pada masa mudanya banyak membaca buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan pemuka-pemuka lain yang sesat, sehingga ahirnya membangun faham Wahabiyah yang terpusat ditanah Hijaz sebagai penerus tongkat estafet dari ajaran Ibnu Taimiyah, bahkan lebih extrim dan radikal daripada Ibnu Taimiyah sendiri, sebab ia sangat mudah memberikan label kafir kepada setiap orang yang tidak mau mengikuti fahamnya. Langkah yang ia tempuh dalam mengembangkan fahamnya ialah dengan memberikan tambahan- tambahan baru dari ajaran Ibnu Taimiyah yang semula dianutnya. * Poin-poin dasar faham wahabiyah 1. Allah adalah suatu jisim yang memiliki wajah, tangan dan menempat sebagaimana mahluq juga sesekali naik dan turun ke bumi. 2. Mengedapankan dalil Naqli daripada dalil aqli serta tidak memberikan ruang sedikitpun pada akal dalam hal-hal yang berkenaan dengan agama ( keyakinan) 3. Mengingkari Ijma' ( Konsensus ) 4. Menolak Qiyas ( Analogi ) 5. Tidak memperbolehkan Taqlid kepada Ulama' Mujtahidin dan mengkufurkan kepada siapapun yang taqlid kepada mereka 6. Mengkufurkan kepada ummat Islam yang tidak sefaham dengan ajarannya 7. Melarang keras bertawassul kepada Allah melalui perantara para Naabi, Auliya' dan orang- orang sholeh 8. Memvonis kafir kepada orang yang bersumpah dengan menyebut nama selain Allah 9. menghukumi kafir kepada siapa saja yang bernadzar untuk selain Allah. 10. Menghukumi kafir kepada secara muthlak kepada siapapun yang menyembelih disisi makam para nabi atau orang-orang Sholeh. Perkembangan ajaran Wahabiyah yang disinyalir melalui cendekiawan-cendekiawan pada akhirnya juga sampai di tanah air kita Indonesia, hal ini diawali dengan maraknya pergerakan-pergerakan diawal abad ke-20 yang bertopeng keagamaan. Diawali dengan terbentuknya organisasi Wathoniyah pada tahun 1908 M. kemudian disusul organisasi Serikat Islam pada tahun yang sama, hanya saja berkecimpung dalam masalah perdagangan. Dan puncaknya dibentuklah sebuah ormas pada tanggal 18 Desember 1912 oleh seorang cendekiawan yang berfaham Wahabi, kendati organisasi ini lebih berorientasi pada masalah social keagamaan, namun kelahirannya dibumi pertiwi ini menyebabkan keretakan diantara Muslim Indonesia yang pada umumnya berhaluan faham Ahli Sunnah Wal jamaah, Propaganda yang dilakukan oleh cendekiawan wahabi ialah dengan melakukan pendekatan pada masyarakat awam, setelah terpedaya kemudian mereka mengeluarkan trik-trik baru yang justru lebih berbahaya dampaknya, yaitu dengan menanamkan benih-benih permusuhan dan rasa sentiment pada para ulama' salaf dan golongan yang tidak sefaham dengan mereka. 3. Faham Ahmadiyah Pendiri golongan ini bernama Mirza Ghulam Ahmad, ia dilahirkan didesa Qodliyan Punjab Pakistan pada tahun 1836 M. dia tidak hanya mengaku sebagai imam Mahdi yang ditunggu, Mujaddid dan juru selamat,tetapi stelah ia berumur 54 tahun ia memproklamirkan diri sebagai nabi yang paling akhir sesudah nabi Muhammad SAW dan benar-benar mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Poin-Poin faham Ahmadiyah yang menyimpang dari Syari'at 1. Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi terahir 2. Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa yang dijanjikan. 3. Syari'at Islam belum sempurna, tetapi disempurnakan oleh Syari'at Mirza Ghulam Ahmad. 4. Jaringan Islam Liberal Belakangan ini gegap gempita pemikiran dan aliran yang muncul dikalangan Islam di Indonesia begitu deras, sehingga berimplikasi pada sebuah kebebasan yang seakan tak terbatas. Disana-sini bermunculan aliran dan sekte-sekte, termasuk salah satunya adalah Jaringan Islam Liberal ( JIL ). Sebagai komunitas yang berslogan " Menuju Islam yang ramah, toleran dan membebaskan " JIL hadir layaknya sebuah alternatif yang begitu intelektual dan cerdas. Mereka begitu Ofensif sehingga berhasil menciptakan jaringan dengan tidak kurang dari 51 koran dan membuat radio 68 Hyang beberapa acaranya dipancarluaskan oleh jaringan KBR 68 H diseluruh Indonesia. Maka tak heran apabila pemikiran-pemikirannya begitu kuat mempengaruhi ummat. Madzhab liberal merupakan aliran pemikiran Islam Indonesia yang menekankan pada kebebasan berfikir dan tidak lagi terikat dengan madzhab-madzhab pemikiran keagamaan ( terutama Islam ) pada umumnya, melampaui batas-batas cara berpikir sectarian organisasi dan politik. Bagi Madzhab liberal, yang paling penting adalah perlunya tradisi kritis dan perlunya Dekonstruksi atas pemahaman lama yang telah berkembang ratusan tahun. Islam seharusnya difahami secara modern dan rasional, karena Islam merupakan agama yang rasional dan mengutamakan rasionalitas yang dalam bentuk konkritnya berupa Ijtihad. Islam harus dipahami secara kontekstual, progressif dan emansipatoris. Dengan pemahaman seperti ini maka Islam akan mengalami kemajuan, bukannya kemunduran. VII. Metode Pembentengan Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah Dalam membentengi aqidah Ahlus Sunnah wal jamaah agar tetap eksis dan menjadi panutan masyarakat, tentunya perlu diterapkan metode yang jitu dan tidak terkesan radikal. Upaya penyampaian tentang pentingnya mempertahankan aqidah ahli sunnah wal jamaah bisa ditempuh dengan berbagai macam cara, seperti memberikan pemahaman yang mendalam tentang hakikat aswaja dan bahayanya mengikuti faham- faham sesat yang banyak bermunculan melalui pertemuan- pertemuan khusus atau melalui majelis Dzikir, ketika Masyarakat berkumpul di Masjid untuk melaksanakan Shalat atau pengajian dan berbagai moment keagamaan lainnya. Islam mengajarkan pada penganutnya untuk berda'wah dan mengajak sesama menuju kejalan yang benar dengan cara-cara yang terpuji, hal itu telah diuraikan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Seperti halnya ajaran tentang mengajak masuk Islam dengan hikmah atau dalil dan hujjah juga dengan mau'idlah yang ada dalam ayat Al-Qur'an, dan hal itu tentu harus dengan menggunakan adab dan tata karma yang baik. Karena agama Islam identik dengan nasihat yang halus dan jauh dari kekerasan. Banyak media yang bisa kita gunakan untuk menyampaikan nilai-nilai Aswaja kepada masyarakat luas yang selama ini masih minim dipraktekkan sebab kurangnya rasa peduli dari para nahdliyin. Pengoptimalan Fungsi Masjid Sebenarnya fungsi asal dibangunnya masjid selain untuk shalat seperti yang telah dijelaskan oleh Imam Samarqondi adalah sebagai tempat untuk Dzikir, Takbir, Tahlil, Menyiarkan Islam dan menjauhkan dari perbuatan syirik. Oleh sebab itu sudah saatnya para Ta'mir masjid dan pemuka agama mengaplikasikan fungsi- fungsi tersebut dengan mengadakan Khalaqah diwaktu-waktu tertentu untuk menyampaikan nilai-nilai faham Aswaja dengan tujuan menyelamatkan masyarakat dari pengaruh faham yang sesat dan menyesatkan. Oleh karenanya pengoptimalan fungsi masjid dengan cara digunakan sebagai media penyampaian aqidah yang tegak sangat mutlaq diperlukan dizaman sekarang, mengingat bahayanya faham-faham baru yang berkedok Islam namun jauh melenceng dari nilai-nilai Islam secara sempurna. Apabila upaya pengoptimalan tersebut telah kita lakukan, sedikit banyak masyarakat akan faham tentang Aswaja dan bahaya akiran-aliran sesat. Dan masjid yang kita miliki semakin tampak manfaat dan fungsi-fungsinya. Jangan sampai Masjid yang kita rawat dan kita tempati sehari-hari diambil alih oleh golongan- golongan yang tidak bertanggung jawab seperti yang telah diberitakan dalam sebuah situs NU Online yaitu : Kehidupan beragama di Indonesia semakin tidak aman. Sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam telah serampangan mengambil alih masjid-masjid milik warga (Nahdlatul Ulama) NU dengan alasan bid’ah dan beraliran sesat. Allah SWT berfirman dalam Al Qur'an : ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. النحل 125 Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. "QS: An Nahl 125 فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى طه : 44 maka berbicaralah kamu berdua ( Musa dan Harun ) kepadanya( Fir'aun ) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." QS : Thaha 44 وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسْنًا البقرة 83 serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia." QS : Al Baqarah 83 Ayat-ayat diatas menjelaskan pada Ummat Islam bahwa ajakan menuju jalan Allah yang oleh ulama' ditafsiri dengan Agama Islam harus dengan menggunakan Hikmah, dan hikmah yang dimaksud dalam ayat tersebut diatas oleh ulama ditafsiri dengan burhan (dalil) atau hujjah, Allah juga memerintahkan untuk mengajak dengan Mau'idlah atau peringatan yang bagus. Dalam surat Thaha diatas Allah memerintahkan pada nabi Musa dan Harus AS. Untuk bertutur kata yang halus kepada Fir'aun, agar Fir'aun bisa sadar atau takut kepada Allah. Sampai selentur itu ajaran Allah untuk berda'wah, padahal kita ketahui bersama bagaimana kekejaman dan kerasnya fir'aun dalam menentang agama Allah SWT. akhirul kalam wassalamu'alaikum.wr.wb.
DEVINISI AHLUSUNNAH WALJAMA’AH Dari segi bahasa, ahlussunnah berarti penganut sunnah Nabi, sedangkan ahlul jama’ah berarti penganut kepercayaan jama’ah para sahabat Nabi. Karena itu, kaum “Ahlussunnah wal Jama’ah” (ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah) adalah kaum yang menganut kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Kepercayaan Nabi dan sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi secara terpencar-pencar, yang kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama besar, yaitu Syeikh Abu al-Hasan al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun). Menurut Dr. Jalal Muhammad Musa dalam karyanya Nasy’ah al-Asy’âriyyah wa Tathawwurihâ, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah (Ahlussunnah wal Jama’ah) mengandung dua konotasi, ‘âmm (umum/global) dan khâshsh (spesifik). Dalam makna ‘âmm, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembanding Syi’ah, termasuk Mu’tazilah dan kelompok lainnya, sedangkan makna khâshsh-nya adalah kelompok Asy’ariyah (pengikut mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari) dalam pemikiran kalam. Dr. Ahmad ‘Abd Allah At-Thayyar dan Dr. Mubarak Hasan Husayn dari Universitas Al-Azhar mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mendapat petunjuk Allah Swt., dan mengikuti sunnah Rasul, serta mengamalkan ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara praktik dan menggunakannya sebagai manhaj (jalan pikiran) dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. … وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا.. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. al-Hasyr: 7). Dengan arti seperti di atas, apa yang masuk dalam kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, pertama-tama adalah para sahabat Nabi, para tabi’in dan tabiit-tabi’in, serta semua orang yang mengikuti jalan Nabi Muhammad Saw. sampai hari kiamat kelak. Al-Ustadz Abu al-Faidl ibn al-Syaikh ‘Abd al-Syakur al-Sanori dalam karyanya kitab al-Kawâkib al-Lammâ’ah fî Tahqîq al-Musammâ bi ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah’ menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa setia mengikuti sunnah Nabi Saw., dan petunjuk para sahabatnya dalam akidah, amaliah fisik (fiqh) dan akhlak batin (tashawwuf). Kelompok itu meliputi ulama kalam (mutakallimûn), ahli fikih (fuqahâ) dan ahli hadits (muhadditsûn) serta ulama tashawuf (shûfiyyah). Jadi, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah menurut ‘urf khâshsh (adat kebisaaan) adalah kelompok muhadditsin, shufiyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pengikut mereka inilah yang kemudian juga dapat disebut Ahlussunnah wal Jama’ah, dan selainnya tidak, dalam konteks ‘urf khâshsh tadi. Adapun menurut pengertian ‘âmm Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok atau golongan yang senantiasa setia melaksanakan sunnah Nabi Saw. dan petunjuk para sahabatnya. Dengan kata lain, substansi Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mereka yang memurnikan sunnah, sedangkan lawannya adalah ahli bid’ah (ahl al-bid’ah). Ahmad Amin dalam Zhuhr al-Islâm, juga menjelaskan bahwa sunnah dalam istilah ahl al-sunnah berarti hadis. Oleh karena itu, berbeda dengan kaum Mu’tazilah, Ahlussunnah percaya terhadap hadis-hadis sahih, tanpa harus memilih dan menginterpretasikannya. Adapun Jamâ’ah, dalam pandangan al-Mahbubi, adalah umumnya/mayoritas umat Islam (‘âmmah al-muslimîn) serta jumlah besar dan khalayak ramai (al-jamâ’ah al-katsîr wa al-sawâd al-a’zham). Secara lebih terperinci, al-Baghdadi menegaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah terdiri dari 8 (delapan) kelompok besar, yaitu: mutakallimin, fuqaha, ahli hadis, ahli bahasa, ahli qira’at, sufi atau zahid, mujahid, dan masyarakat awam yang berdiri di bawah panji-panji AhlussunnahwalJama’ah. Dua definisi ini menggambarkan adanya definisi yang bersifat terminologis (ishthilâhiy) dan definisi yang bersifat substantif. Ini artinya, dalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ada aspek jawhar atau hakekat dan ada aspek ‘ardl atau formal. Dalam dua aspek ini, apa yang mendasar adalah aspek jawhar-nya, sedangkan aspek ‘ardl-nya dapat mengalami revitalisasi dan pembaruan, karena terkait dengan faktor historis. Seperti diketahui, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah muncul berkaitan dengan hadirnya mazhab-mazhab, sehingga ketika hasil pemikiran mazhab yang bersifat relatif, atau tidak absolut itu mengalami revitalisasi, maka pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah pun harus dikembalikan kepada arti substansinya. Pengertian substansi Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks akidah adalah paham yang membendung paham akidah Syi’ah (dalam konteks historis juga paham akidah Mu’tazilah) yang dinilai sebagai kelompok bid’ah, yakni kelompok yang melakukan penyimpangan dalam agama karena lebih mengutamakan akal dari pada naql (Qur’an) dalam merumuskan paham keagamaan Islamnya. Dengan demikian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah secara substantif adalah kelompok yang setia terhadap sunnah, dengan menggunakan manhaj berpikir mendahulukan nashsh daripada akal. Sebagai gerakan, sebelum diinstitusikan dalam bentuk mazhab, kelompok ini melakukan pembaruan paham keagamaan Islam agar sesuai dengan sunnah atau ajaran murni Islam (purifikasi), sehingga orang Barat menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah dengan orthodox Sunni school. Di antara kelompok yang berhasil melakukan pembaruan seperti ini adalah pengikut Imam al-Asy’ari (Asy’ariyah). PENGERTIAN ASWAJA Bismillaahirrohmaanirrohiim Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunnah wal jama'ah. ada tiga kata yg membentuk kata tersebut. 1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut. 2. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yg datang dari Nabi Muhammad yang berupa perbuatan, ucapan, dan pengakuan Nabi Muhammad. 3. Al-Jama'ah, yaitu apa yg disepakati oleh para sahabat Rosulullah pd masa Khulafaur Rosyidin (Abu Bakar, Umar bin Khottob, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib) Kata al-Jama'ah ini diambil dari sabda Nabi saw: "Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yg damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-Jama'ah (HR. Tirmidzi dan Hakim, hadits shohih menurut al-Dzahabi) Syekh Abdul Qodir al-Jaelani (471-561 H) menjelaskan: "Al-Sunnah adl apa yg telah diajarkan oleh Rosulullah saw. (meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama'ah adalah segala sesuatu yg telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi saw. pada masa Khulafaur Rosyidin yang empat, yg telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kpd mereka semua) (Al-Ghunyah li Tholibi Thoriq al-Haqq, Juz 1, hal 80) Lebih jelas lagi hadratus syekh KH. Hasyim Asy'ari (1287-1336 H) menyebutkan dalam kitabnya Zidayat Ta'liqot hal. 23-24, sebagai berikut: "Adapun Ahlussunnah wal Jama'ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqh. Merekalah yg mengikuti dan berpegang teguh dg sunnah Nabi saw. dan sunnah Khulafaur Rosyidin sesudahnya. Mereka adalah kelompok yg selamat (al-Firqoh al-Najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu madzhab Hanafi, Syafii, Maliki dan Hanbali." Pada hakikatnya ajaran Nabi saw. dan para sahabatnya tentang aqidah itu sudah termaktub dalam al-Qur'an dan Sunnah. Akan tetapi masih berserakan dan belum tersusun secara sistematis. Baru pada masa setelahnya, ada usaha dari ulama' Ushuluddin yg besar yaitu Imam Abu Hasan al-Asy'ari yg lahir di Bashra tahun 260 H dan wafat tahun 324 H, juga Imam Abu Mansur al-Maturidi yg lahir di Maturid, Samarkand, Uzbekistan, dan wafat tahun 333 H, Ilmu Tauhid dirumuskan secara sistematis agar mudah dipahami. Kedua ulama' tersebut menulis kitab2 yg cukup banyak. Imam al-Asy'ari misalnya, menulis kitab al-ibanah 'an Ushul al-Diniyah, Maqolat al-Islamiyyin, dll. Sedangkan Imam al-Maturidi menulis kitab al-Tauhid, Ta'wilat Ahl al-Sunnah, dll. Karena jasa yg besar dari kedua ulama' tersebut, sehingga penyebutan Ahlussunnah wal Jama'ah selalu dikaitkan dengan kedua ulama' tersebut. Sayyid Murtadha al-Zabidi mengatakan: "Jika disebut Ahlussunnah wal jama'ah, maka yg dimaksud adl para pengikut Imam al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi (Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, juz 2 hal. 6) Pesantren2 di Indonesia secara umum mengajarkan Ilmu Tauhid menurut rumusan Imam al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi dengan menggunakan kitab yg lebih sederhana dan ditulis oleh para pengikut kedua imam tersebut, seperti kitab Kifayatul 'Awam, Ummul Barohain, 'Aqidatul 'Awam, dll. Dari penjelasan di atas, dpt dipahami Ahlussunnah wal jama'ah bukanlah aliran baru yg muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yg menyimpang dari ajaran Islam yg sebenarnya. Tetapi Ahlussunnah wal Jama'ah adalah Islam yang murni sebagaimana yg diajarkan Nabi saw. dan sesuai dg apa yg telah digariskan dan diamalkan oleh para sahabatnya. Aswaja merupakan singkatan akronim dari kata Ahlusunnah Waljamaah, yang oleh sebagian orang juga diringkas menjadi Sunni. Dalam pengertian praktisnya, Aswaja adalah golongan terbesar (al-sawad al-a’zham) dari umat Islam yang bersifat sinambung dari zaman ke zaman, yang memahami, mengamalkan, mempertahankan, dan mendakwahkan ajaran agama berdasarkan haluan keteladanan yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaih wa alihi wa sallam dan para sahabat radliyallahu ‘anhum ajma’in. Apa yang dimaksud haluan keteladanan ini memang masih abstrak (tidak tampak) sehingga menjadikan setiap golongan atau aliran merasa berhak menyatakan diri sebagai Aswaja. Cuma, sebagian ada yang mengidentifikasikan diri kepada Aswaja itu secara formal, dalam arti secara nama ingin disebut Ahlusunnah waljamaah, Sunni, atau Aswaja, dan sebagian lain hanya ingin mengidentifikasikan diri mereka secara substansial saja, dalam arti bahwa meskipun mereka tidak menamakan diri sebagai orang Sunni, Aswaja, atau Ahlusunnah, namun mereka tetap merujuk kepada hadis tentang firqah dan mengklaim merekalah golongan yang selamat itu. Di sinilah menurut beberapa penulis posisi kaum Syi’ah yang meskipun secara formal tidak mau disebut Ahlusunnah, namun secara substansial justru sangat mengakuinya. Bagaimanapun saling silang-sengketa tentang golongan atau aliran mana yang betul-betul Ahlusunnah, namun jika ditinjau dari segi perkembangan dan perbandingannya dengan berbagai aliran yang pernah muncul dalam sejarah umat Islam sejak masa awal, dapat dipahami secara umum bahwa nilai yang menjadi dasar atau karakter Ahlusunnah Waljamaah (Aswaja) setidaknya terdiri atas nilai i’tidal (keadilan/istiqamah), tawasuth, (penengah/moderat), tawazun (seimbang/proporsional), dan tasamuh (lapang dada/toleran). Di mana dapatnya? Sejarah yang menjadi saksi, karena jika mau memfokuskan kajian kepada sejarah Islam awal, pasca wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam sesungguhnya telah jelas di mana posisi para sahabat. Riwayat-riwayat yang menceritakan kronologi demi kronologi sampai peristiwa di daumah al-jandal pada ‘am al-jamaah sesungguhnya bisa dikumpulkan dan disusun secara lebih sistematis sehingga melahirkan rekonstruksi sejarah Aswaja pada zaman yang paling awal. Oleh karena itu, sungguhpun keempat nilai tersebut di atas tidak mencerminkan Aswaja secara mutlak, tetapi paling tidak ia telah terbukti memainkan peran penting dalam membingkai berbagai persoalan besar yang melibatkan agama, sehingga menjadi jelas perbedaannya dari aliran-aliran lainnya. Lihat misalnya khawarij, saba’iyyah, dan sebagainya yang sudah merupakan aliran akidah sehingga pantas disebut firqah, karena memang menyelisihi arus umum keberagamaan para sahabat secara akidah. Kemudian daripada itu, tinjauan secara kebahasaan menunjukkan bahwa keempat nilai dasar itu, yakni istilah i’tidal, tawasuth, dan tawazun sebenarnya dapat dirujuk kepada akar istilah sunnah yang menjadi satu identitas utama Aswaja, di samping istilah tasamuh yang merujuk kepada akar istilah jama’ah. Keempat istilah inilah yang secara tidak langsung membentuk satu bangunan identitas, yakni Ahlusunnah Waljamaah. Di samping itu, istilah jamaah juga diungkapkan dalam hadis lain sebagai al-sawad al-a’zham, yaitu mainstream atau arus umum sistem keberagamaan umat Islam. Inilah makna yang lebih tepat bagi Aswaja. Sejak zaman sahabat terdapat arus umum keberagamaan mereka yang diikuti oleh para tabiin, hatta dalam keadaan perang saudara sekalipun. Buktinya, ketika perang Jamal dan perang Shiffin, umat Islam memang terpecah kepada dua golongan yang saling berperang, meskipun akhirnya setelah peristiwa di daumah al-Jandal kembali bersatu. Kedua gololongan ini masih dalam arus umum, karena seluruh sahabat berada di salah satu antara dua golongan itu, meskipun faktanya ada sebagian sahabat yang secara fisik tidak melibatkan diri dalam perang. Adapun khawarij yang menyatakan keluar dari kedua golongan itu? Sejarah membuktikan tidak ada seorang sahabat pun yang pernah menerima dan mengakui keberadaan Khawarij, apalagi sampai ikut bergabung dengan mereka. Setelah menelaah dari berbagai referensi dan rujukan yang secara spesifik menjelaskan pengertian Ahlussunnah wa Al Jamaah, bisa difahami bahwa definisi Ahlussunnah wa Al jamaah ada dua bagian yaitu: definisi secara umum dan definisi secara khusus . * Definisi Aswaja Secara umum adalah : satu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik ( fiqih) dan hakikat ( Tasawwuf dan Ahlaq ) . * Sedangkan definisi Aswaja secara khusus adalah : Golongan yang mempunyai I’tikad / keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya’iroh dan Maturidiyah. Pada hakikatnya definisi Aswaja yang secara khusus bukan lain adalah merupakan juz dari definisi yang secara umum, karena pengertian Asya’iroh dan Ahlussunnah adalah golongan yang komitmen berpegang teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal aqidah. namun penamaan golongan Asya’iroh dengan nama Ahli sunnah Wa Al Jamaah hanyalah skedar memberikan nama juz dengan menggunakan namanya kulli. Syaih Al Baghdadi dalam kitabnya Al Farqu bainal Firoq mengatakan : pada zaman sekarang kita tidak menemukan satu golongan yang komitmen terhadap ajaran Nabi dan sahabat kecuali golongan Ahlussunnah wal jamaah. Bukan dari golongan Rafidah, khowarij, jahmiyah, najariyah, musbihah,ghulat,khululiyah, Wahabiyah dan yang lainnya. Beliau juga meyebutkan; bahwa elemen Alussunnah waljamaah terdiri dari para Imam ahli fiqih, Ulama’ Hadits, Tafsir, para zuhud sufiyah, ulama’ lughat dan ulama’-ulama’ lain yang berpegang teguh paa aqidah Ahli sunnah wal jamaah. secara ringkas bisa disimpulkan bahwa Ahlu sunnah wal jamaah adalah semua orang yang berjalan dan selalu menetapkan ajaran Rasulullah SAW dan para sahabat sebagai pijakan hukum baik dalam masalah aqidah, syari’ah dan tasawwuf. II. Pengertian Sunnah dan ajaran-ajarannya Kalimat Sunnah secara etimologi adalah Thoriqoh ( jalan ) meskipun tidak mendapatkan ridlo. Sedangan pengertian Sunnah secara terminlogi yaitu nama suatu jalan yang mendapakan ridlo yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW, para khulafa’ al Rosyidin dan Salaf Al Sholihin. Seperti yang telah disabdakan oleh Nabi : عَلَيكُمْ بِسُنَّتيِ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي Ikutilah tindakanku dan tindakan para khlafaurrosyidin setelah wafatku. Sedangkan pengertian kalimat Jamaah adalah golongan dari orang-orang yang mempunyai keagungan dalam Islam dari kalangan para Sahabat, Tabi’in dan Atba’ Attabi’in dan segenap ulama’ salaf As solihin. Setiap ajaran yang berdasarkan pada Usul Al syari’ah dan Fur’nya dan pernah dikerjakan oleh para nabi dan Sahabat sudah barang tentu merupakan ajaran yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wa aal jamaah seperti : Shalat Tarawih, witir, baca shalawat, ziarah kubur, mendo’akan orang yang sudah mati dll. III. Definisi Bid’ah Bid’ah dalam ma’na terminologi ( Syara’) menurut syaih Zaruq dalam kitabnya Iddah Al Marid yaitu semua perkara baru dalam agama yang menyerupai salah satu dari bentuk ajaran agama namun sebenarnya bukan termasuk dari bagian agama, baik dilihat dari sisi bentuknya maupun dari sisi hakikatnya. Dan pekara tersebut berkesan seolah-olah bagian dari jaran Islam seperti : membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan Shalat dengan diiringi alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan kaum mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham liberal yang marak akhir-akhir ini. Karena berdasarkan pada Ayat Al-Qur’an : " وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ البَيْتِ الاَّ مُكاَءً وَتَصْدِيَةً " الانفال 35 Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. QS: Al Anfal 35 Dan Hadits Nabi yang berbunyi: عن أم المؤمنين أم عبد الله عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ". Dari A’isyah RA. Rasulullah bersabda : barang siapa menciptakan hal baru dalam urusanku yang bukan termasuk dari golongan urusanku maka akan tertolak. HR. Bukhari dan Muslim Kalimat أحدث dalam Hadits diatas mengandung pengertian menciptakan dan membuat-buat suatu perkara yang didasari dari hawa nafsu. Sedangkan kalimat أمرنا mengandung suatu pengertian agama dan Syari’at yang telah di Ridlohi oleh Allah SWT. Rasulullah juga bersabda dalam sebuah Hadits : وروى مسلم في صحيحه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في خُطبَتِهِ : " خَيرُ الحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ, وَخَيرُ الهَدىِ هُدَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم, وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلُّ مُحْدَثةٍ بِدعَةٌ, وَكُلُّ بِدعَةٍ ضَلَالَةٌ" ورواه البيهقي وفيه زيادة " وكل ضلالة في النار" Rosululloh bersabda: “ paling bagusnya Hadits adalah Kitabnya Allah, dan paling bagusnya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW, dan paling jeleknya perkara adalah semua perkara yang baru, dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat”. HR. Muslim dan juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan tambahan kalimat “ setiap perkara sesat menempat dineraka” . Dari adanya dua Hadits diatas para ulama’ menjelaskan bahwa secara prinsip, bid’ah adalah berubahnya Suatu hukum yang disebabkan karena meyakini suatu perkara yang bukan merupakan bagian dari agama sebagai salah satu bagian dari agama, bukan berarti setiap perkara baru lantas dikategorikan bid’ah, karena banyak hal baru yang sesuai dengan Usul Al Syar’ah dan tidak dikategorikan bid’ah, atau hal-hal baru yang sesuai dengan Furu’ Al Syari’ah yang masih mungkin di tempuh dengan jalan Analogi atau qiyas sehingga tidak termasuk kategori Bid’ah . berarti tidak semua ritual yang baru serta-merta dikategorikan sebagai perbuatan bid’ah seperti ritual tahlil tujuh hari,40 hari dan seratus hari dari kematian mayat, ziarah kubur, tawassul, mendoakan orang mati dll. Imam Muhmmad Waliyuddin As Syabsiri dalam Syarah Arba’n Nawawi mengupas pengertian Hadits Nabi yang berbunyai : مَنْ أَحدَثَ حَدَثًا اَوْ آوَى مُحدثًا فَعَليهِ لَعْنَةُ اللهِ Barang siapa menciptakan perkara baru atau melindungi pencipta perkara baru mak dia berhak mendapatkan laknat Allah. Hadits tersebut diatas memasukkan berbagai bentuk bentuk bid’ah seper Aqad fasid, memberi hukum tanpa Ilmu, penyelewengan dan semua hal yang tidak sesuai dengan syari’at. Namun apabila perkara baru itu masih sesuai dengan qonun syari’at maka tidak termasuk kategori bid’ah seperti menulis mushaf, meluruskan madzhab, menulis ilmu nahwu ,Khisab dll. Syaih Izzuddin ibni Abdis Salam menggolongkan perkara baru ( Bid’ah ) menjadi lima hukum yaitu : 1. Bid’ah wajib seperti : mempelajari ilmu nawu, dan lafad-lafad yang ghorib dalam Al-Qur’an dn Hadits dan semua disiplin ilmu yang menjadi perantara untuk memahami syari’at. 2. Bid’ah Haram seperti : Faham Madzhab Qodariah, Jabariah dan Mujassimah. 3. Bid’ah Sunnah Seperti : Mendirikan Pondok, Madrasah dan semua perbuatan baik yang tidak pernah ditemukan pada masa dahulu. 4. Bid’ah Makruh Seperti : Menghias MAsjid dan Al-Qur’an. 5. Bid’ah Mubah seperti : Mushofahah (Jabat tangan) setelah Shalat Subuh dan Ashar dll. IV. Kriteria penggolongan Bid’ah Dalam menggolongkan perkara baru yang menimbulkan konsekwensi hukum yang berbeda-beda, Ulama’ telah membuat tiga kriteria dalam persoalan ini . 1. Jika perbuatan itu mempunyai dasar yang kuat berupa dalil-dalil syar’i, baik parsial ( juz’i ) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah, dan jika tidak ada dalil yang dibuat sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang. 2. Memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama’ salaf ( Ulama’ pada abad I,II dan III H , jika sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong Bid’ah. 3. Dengan jalan Qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliah yang telah ada hukumnya dari Nash Al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong Bid’ah yang diharamkan. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka tergolong perbuatan baru yang wajib. Dan begitu seterusnya. V. Hal-hal baru yang tidak tergolong Bid’ah Dari pengertian Bid’ah diatas, memberikan suatu natijah atau kesimpulan bahwa ada sebagian amal Bid’ah yang sesuai dengan syari’at dan justru ada yang hukumnya sunnat dan fardlu kifayah. Oleh sebab itu Imam Syafi’i berkata : " ما أَحْدَثَ وَخَالَفَ كِتَابًا اَو سُنَّةً او إِجمَاعًا او أثرًا فهو البِدْعَةُ الضَّالَّةُ, وَمَا أحْدَثَ مِنَ الخَيرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيئًا من ذلك فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُودَةُ " “ Perkara baru yang tidak sesuai dengan Kitab Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Atsar sahabat termasuk bid’ah yang sesat, dan perkara baru yang bagus dan tidak bertentangan dengan pedoman-pedoman tersebut maka termasuk Bid’ah yang terpuji “ 1. Ziarah kubur. Tidak diragukan sama sekali, bahwa hukum berziarah ke makam kerabat atau auliya’ adalah sunnah, dan hal ini telah disepakati oleh semua ulama’. Terdapat banyak Hadits yang menjelaskan kesunnahan ziarah kubur, diantaranya adalah : عن بريدة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " قَدْ كُنْتُ نَهَيتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمدٍ فيِ زِيَارةِ قَبرِ أُمِّهِ فَزُورُهَا فإنَّهَا تُذَكِّرُ الآخرةَ. رواه الترمذي “ dari Buraidah. Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda “ saya pernah melarang kamu berziarah kubur, tetapi sekarang Muhammad telah diberi izin untuk berziarah kemakam ibunya. Maka sekarang berziarahlah ! karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat. HR. Al Thirmidzi Ziarah kubur juga sunnah mu'akkad dilakukan di makam Rasulullah SAW dan juga makam para nabi yang lain, bahkan ada sebagian ulama' yang mewajibkan ziarah kubur kemakam Rasulullah SAW bagi orang yang mendatangi kota madinah. Namun sebaiknya ketika seseorang hendak melakukan ziarah ke makam Rosul hendaklah niat ziarah ke masjid Nabawi dan setelah itu baru melaksanakan ziarah ke makam Rosul dengan cara mengucapakan kalimat " السَّلاَمُ عَلَيكَ يَا رَسُولَ الله " dengan sura pelan dan penuh tata karma. Tersebut dalam sebuah Hadits: مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَمَاتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي } رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ ، وَابْنُ مَاجَهْ ،} Barang siapa berziarah padaku setelah wafatku, maka seakan akan dia berziarah padaku pada masa hidupku مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لهُ شَفَاعَتِي عن ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :"Dari Ibnu Umar RA. Sesungguhnya Rasulullah bersabda : barang siapa berziarah kemakamku, maka pasti akan mendapatkan Syafa'at ( pertolongan ) ku" HR. Al Thobroni 2.Tawassul. Kalimat Tawassul secara bahasa adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wasilah artinya adalah sesuatu yang dijadikan Allah SWT. Sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan pintu menuju kebutuhan yang diinginkan. Allah SWT berfirman : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. QS: Al Maidah : 35 Dengan demikian, tawassul tidak lebih dari sekedar upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, sedangkan wasilah adalah sebagai media dalam usaha tersebut. Tujuan utamanya tidak lain adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak ada sedikitpun keyakinan menyekutukan Allah SWT.( Syirik ). Kebolehan Tawassul juga telah disebutkan oleh Nabi dalam Haditsnya : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ," تَوَسَّلُوا بِي وَبِأَهْلِ بَيتيِ الىَ اللهِ فإنَّهُ لَا يُرَدُّ مُتَوَسِّلٌ بِنَا" " Rasulullah SAW bersabda : Bertawassullah kalian dengan aku dan dengan para keluargaku, sesungguhnya orang yang bertawassul dengan aku tidak akan ditolak"( HR.Ibnu Hibban ) 3. Tabarruk ( Mencari Berkah ) Secara Etimologi kata berkah berarti tambah, berkembang. Selanjutnya kata barokah digunakan dalam pengertian bertambahnya kebaikan dan kenuliyaan. Jadi Barokah adalah rahasia dan pemberian Allah SWT yang dengannya akan bertambah amal- amal kebaikan., mengabulkan keinginan, menolak kejahatan dan membuka pintu menuju kebaikan dengan anugrah Allah SWT. Dari pengertian ini barokah adalah bagian dari rahmat dan anugerah Allah SWT. Allah SWT berfirman : وَجَعَلَنيِ مُبَارَكًا أَيْنَمَا كُنْتَ. مريم 31 " Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada " QS : maryam 31 "رَحَمْةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيكُم أَهلَ البَيتِ "هود 73 " Rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait ! Para ulama' telah banyak membicarakan hukum mengambil barokah, dan berkesimpulan bahwa mengambil barokah dari orang , tempat atau benda hukumnya adalah boleh dengan syarat tidak dilakukan dengan cara-cara yang menyimpang syari'at Allah SWT. Berikut adalah dalil-dalil kebolehan mengambil berkah : وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. البقرة 248 Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.QS: Al-Baqarah 248 عن ابن جدعان: قال ثابت لأنس رضي الله عنه : أَمَسَسْتَ النبيَ صلى الله عليه وسلم قال نَعَمْ فَقَبَّلَهَا . رواه البخاري " Dari Ibnu Jad'an, berkata Tsabit kepada Anas ra : Apakah tanganmu pernah menyentuh Nabi SAW ? Anas menjawab : ya, maka Tsabit menciumnya ". HR. Bukhori Diriwayatkan oleh Al Khotib dari Ali dari Maimun, berkata : aku mendengar Imam Syafi'I berkata : " sesungguhnya aku mengambil barokah dari Abu Khanifah dan aku mendatangi makamnya setiap hari, maka jika aku mempunyai hajat, aku shalat dua rakaat dan mendatangi makam Abu Hanifah lalu berdo'a meminta kepada Allah SWT. Tidak lama kemudian hajatku terpenuhi". Kesimpulannya, mengambil barokah dari orang-orang yang shaleh adalah perbuatan yang terpuji. Apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi serta pengukuhan dari Rasulullah SAW cukup untuk dijadikan sebagai dalil. 4. Selamatan & Berdo'a untuk orang mati Ritual mendoakan orang mati sudah biasa dilakukan bahkan sudah menjadi adat orang jawa setiap kali ada salah satu keluarga yang meninggal mereka mengadakan selamatan dihari ke-7 atau ke-40 dari kematian keluarganya dengan mengundang tetangga setempat dan dimintai bantuan untuk membaca surat Yasin, Tahlil dan berdo'a untuk mayat. Hal tersebut diatas diperbolehkan menurut Syari'at, bahkan bagian dari amal ibadah yang pahalanya bisa sampai kepada yang meninggal. Bukankah bacaan Al-Qur'an, Tahlil dan bersedekah, menyajikan suguhan untuk para tamu adalah bagian dari amal Ibadah. Dalam sebuah Hadits dinyatakan : عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه, أَنَّ النَبِيَّ صلى عليه وسلم سُئِلَ فقال السَائِلُ يا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوتَانَا وَنَحُجُّ عَنهُمْ وَنَدْعُو لَهُمْ هَلْ يَصِلُ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ ؟ قَالَ : نَعَمْ إنَّهُ لَيَصِلُ إِلَيْهِمْ وَإِنَّهُمْ لَيَفْرَحُونَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بالطَّبْقِ إذاَ أُهْدِيَ إِلَيْهِمْ. رواه ابو حفص العكبري Dari Anas ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya seseorang: " wahai Rasulullah SAW, kami bersedekah dan berhaji yang pahalanya kami peruntukkan orang-orang kami yang telah meninggal dunia dan kami berdoa untuk merek, apakah pahalanya sampai pada mereka ? Rasulullah SAW menjawab : Iya, pahalanya betul-betul sampai kepada mereka dan mereka sangat merasa gembira sebagaimana kalian gembira apabila menerima hadiah. HR. Abu Khafs Al Akbari. VI. Sekilas Pembaharuan Agama Ketika keintelektualan lebih mengedepankan nafsu serta semangat yang menggebu-gebu dengan dalih memurnikan agama tanpa disertai dengan pemahaman agama secara benar, maka yang terjadi justru pembaharuan- pembaharuan yang menyimpang dari ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. pada pembahasan ini akan mengetengahkan pembaharu-pembaharu ( Mujaddid) Islam yang telah melakukan banyak penyimpangan dari ajaran Islam yang murni. 1. Faham Ibnu Taimiyah Di akhir masa 600 H, muncullah seorang laki-laki yang jenius yang telah banyak menguasai berbagai jenis disiplin ilmu, dialah Taqiyuddin ahmad bin Abdul Hakim yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Ia dilahirkan di desa Heran, sebuah desa kecil di Palestina. Ia hidup sezaman dengan Imam Nawawi salah satu ulama; terbesar madzhab Syafi'i. Ia merupakan sosok pribadi yang memiliki karakter pemberani, yang selalu mencurahkan segala sesuatu untuk madzhabnya, dengan keberanian yang ia miliki, ia telah menemukan hal baru yang sangat tabu dan jauh dari kebenaran, karena yang menjadi dasar pendiriannya ialah mengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits nabi Muhammad yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan menurut arti lafadznya yang dlohir, yakni hanya secara harfiyah saja, oleh sebab itu menurut Ibnu Taimiyah " Tuhan itu memiliki muka, tangan, rusuk dan mata, duduk bersila, dating dan pergi, tuhan adalah cahaya langit dan bumi karena katanya semua itu disebut dalam Al Qur'an". Kontroversi yang ia ucapkan tidak hanya terbatas pada permasalahan ilmu kalam, melainkan juga menyinggung beberapa permasalahan ilmu fiqih : * Bepergian dengan tujuan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat hukumnya maksiat * Talak tiga tidak terjadi ketika diucapkan dengan sekaligus ( hanya jatuh satu ) * Seorang yang bersumpah akan mencerai istrinya , lalu ia melanggar sumpahnya, maka perceraian itu tidak terjadi. 2. Faham Wahabi Pada pertengahan kurun ke 12 muncul seorang yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang berdomisili di Najd yang termasuk kawasan Hijaz, ia dilahirkan pada tahun 1111 H, dan meninggal pada tahun 1207 H. pada mulanya ia memperdalam ilmu agama dari ulama'-ulama; ahli sunnah di makkah dan madinah termasuk diantaranya adalah syaih Muhammad Sulaiman Al Kurdi dan syaih Muhammad Hayyan Assindi, diantara guru yang pernah mengajarkan ilmu kepadanya, jauh sebelum ia membuat pergerakan telah berfirasat kalau disuatu hari nanti ia tergolong orang yang sesat dan menyesatkan, itupun akhirnya menjadi kenyataan, firasat ini juga dirasakan oleh ayah dan saudaranya ( Syeh Sulaiman ). Muhammad bin Abdul Wahab pada masa mudanya banyak membaca buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan pemuka-pemuka lain yang sesat, sehingga ahirnya membangun faham Wahabiyah yang terpusat ditanah Hijaz sebagai penerus tongkat estafet dari ajaran Ibnu Taimiyah, bahkan lebih extrim dan radikal daripada Ibnu Taimiyah sendiri, sebab ia sangat mudah memberikan label kafir kepada setiap orang yang tidak mau mengikuti fahamnya. Langkah yang ia tempuh dalam mengembangkan fahamnya ialah dengan memberikan tambahan- tambahan baru dari ajaran Ibnu Taimiyah yang semula dianutnya. * Poin-poin dasar faham wahabiyah 1. Allah adalah suatu jisim yang memiliki wajah, tangan dan menempat sebagaimana mahluq juga sesekali naik dan turun ke bumi. 2. Mengedapankan dalil Naqli daripada dalil aqli serta tidak memberikan ruang sedikitpun pada akal dalam hal-hal yang berkenaan dengan agama ( keyakinan) 3. Mengingkari Ijma' ( Konsensus ) 4. Menolak Qiyas ( Analogi ) 5. Tidak memperbolehkan Taqlid kepada Ulama' Mujtahidin dan mengkufurkan kepada siapapun yang taqlid kepada mereka 6. Mengkufurkan kepada ummat Islam yang tidak sefaham dengan ajarannya 7. Melarang keras bertawassul kepada Allah melalui perantara para Naabi, Auliya' dan orang- orang sholeh 8. Memvonis kafir kepada orang yang bersumpah dengan menyebut nama selain Allah 9. menghukumi kafir kepada siapa saja yang bernadzar untuk selain Allah. 10. Menghukumi kafir kepada secara muthlak kepada siapapun yang menyembelih disisi makam para nabi atau orang-orang Sholeh. Perkembangan ajaran Wahabiyah yang disinyalir melalui cendekiawan-cendekiawan pada akhirnya juga sampai di tanah air kita Indonesia, hal ini diawali dengan maraknya pergerakan-pergerakan diawal abad ke-20 yang bertopeng keagamaan. Diawali dengan terbentuknya organisasi Wathoniyah pada tahun 1908 M. kemudian disusul organisasi Serikat Islam pada tahun yang sama, hanya saja berkecimpung dalam masalah perdagangan. Dan puncaknya dibentuklah sebuah ormas pada tanggal 18 Desember 1912 oleh seorang cendekiawan yang berfaham Wahabi, kendati organisasi ini lebih berorientasi pada masalah social keagamaan, namun kelahirannya dibumi pertiwi ini menyebabkan keretakan diantara Muslim Indonesia yang pada umumnya berhaluan faham Ahli Sunnah Wal jamaah, Propaganda yang dilakukan oleh cendekiawan wahabi ialah dengan melakukan pendekatan pada masyarakat awam, setelah terpedaya kemudian mereka mengeluarkan trik-trik baru yang justru lebih berbahaya dampaknya, yaitu dengan menanamkan benih-benih permusuhan dan rasa sentiment pada para ulama' salaf dan golongan yang tidak sefaham dengan mereka. 3. Faham Ahmadiyah Pendiri golongan ini bernama Mirza Ghulam Ahmad, ia dilahirkan didesa Qodliyan Punjab Pakistan pada tahun 1836 M. dia tidak hanya mengaku sebagai imam Mahdi yang ditunggu, Mujaddid dan juru selamat,tetapi stelah ia berumur 54 tahun ia memproklamirkan diri sebagai nabi yang paling akhir sesudah nabi Muhammad SAW dan benar-benar mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Poin-Poin faham Ahmadiyah yang menyimpang dari Syari'at 1. Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi terahir 2. Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa yang dijanjikan. 3. Syari'at Islam belum sempurna, tetapi disempurnakan oleh Syari'at Mirza Ghulam Ahmad. 4. Jaringan Islam Liberal Belakangan ini gegap gempita pemikiran dan aliran yang muncul dikalangan Islam di Indonesia begitu deras, sehingga berimplikasi pada sebuah kebebasan yang seakan tak terbatas. Disana-sini bermunculan aliran dan sekte-sekte, termasuk salah satunya adalah Jaringan Islam Liberal ( JIL ). Sebagai komunitas yang berslogan " Menuju Islam yang ramah, toleran dan membebaskan " JIL hadir layaknya sebuah alternatif yang begitu intelektual dan cerdas. Mereka begitu Ofensif sehingga berhasil menciptakan jaringan dengan tidak kurang dari 51 koran dan membuat radio 68 Hyang beberapa acaranya dipancarluaskan oleh jaringan KBR 68 H diseluruh Indonesia. Maka tak heran apabila pemikiran-pemikirannya begitu kuat mempengaruhi ummat. Madzhab liberal merupakan aliran pemikiran Islam Indonesia yang menekankan pada kebebasan berfikir dan tidak lagi terikat dengan madzhab-madzhab pemikiran keagamaan ( terutama Islam ) pada umumnya, melampaui batas-batas cara berpikir sectarian organisasi dan politik. Bagi Madzhab liberal, yang paling penting adalah perlunya tradisi kritis dan perlunya Dekonstruksi atas pemahaman lama yang telah berkembang ratusan tahun. Islam seharusnya difahami secara modern dan rasional, karena Islam merupakan agama yang rasional dan mengutamakan rasionalitas yang dalam bentuk konkritnya berupa Ijtihad. Islam harus dipahami secara kontekstual, progressif dan emansipatoris. Dengan pemahaman seperti ini maka Islam akan mengalami kemajuan, bukannya kemunduran. VII. Metode Pembentengan Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah Dalam membentengi aqidah Ahlus Sunnah wal jamaah agar tetap eksis dan menjadi panutan masyarakat, tentunya perlu diterapkan metode yang jitu dan tidak terkesan radikal. Upaya penyampaian tentang pentingnya mempertahankan aqidah ahli sunnah wal jamaah bisa ditempuh dengan berbagai macam cara, seperti memberikan pemahaman yang mendalam tentang hakikat aswaja dan bahayanya mengikuti faham- faham sesat yang banyak bermunculan melalui pertemuan- pertemuan khusus atau melalui majelis Dzikir, ketika Masyarakat berkumpul di Masjid untuk melaksanakan Shalat atau pengajian dan berbagai moment keagamaan lainnya. Islam mengajarkan pada penganutnya untuk berda'wah dan mengajak sesama menuju kejalan yang benar dengan cara-cara yang terpuji, hal itu telah diuraikan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Seperti halnya ajaran tentang mengajak masuk Islam dengan hikmah atau dalil dan hujjah juga dengan mau'idlah yang ada dalam ayat Al-Qur'an, dan hal itu tentu harus dengan menggunakan adab dan tata karma yang baik. Karena agama Islam identik dengan nasihat yang halus dan jauh dari kekerasan. Banyak media yang bisa kita gunakan untuk menyampaikan nilai-nilai Aswaja kepada masyarakat luas yang selama ini masih minim dipraktekkan sebab kurangnya rasa peduli dari para nahdliyin. Pengoptimalan Fungsi Masjid Sebenarnya fungsi asal dibangunnya masjid selain untuk shalat seperti yang telah dijelaskan oleh Imam Samarqondi adalah sebagai tempat untuk Dzikir, Takbir, Tahlil, Menyiarkan Islam dan menjauhkan dari perbuatan syirik. Oleh sebab itu sudah saatnya para Ta'mir masjid dan pemuka agama mengaplikasikan fungsi- fungsi tersebut dengan mengadakan Khalaqah diwaktu-waktu tertentu untuk menyampaikan nilai-nilai faham Aswaja dengan tujuan menyelamatkan masyarakat dari pengaruh faham yang sesat dan menyesatkan. Oleh karenanya pengoptimalan fungsi masjid dengan cara digunakan sebagai media penyampaian aqidah yang tegak sangat mutlaq diperlukan dizaman sekarang, mengingat bahayanya faham-faham baru yang berkedok Islam namun jauh melenceng dari nilai-nilai Islam secara sempurna. Apabila upaya pengoptimalan tersebut telah kita lakukan, sedikit banyak masyarakat akan faham tentang Aswaja dan bahaya akiran-aliran sesat. Dan masjid yang kita miliki semakin tampak manfaat dan fungsi-fungsinya. Jangan sampai Masjid yang kita rawat dan kita tempati sehari-hari diambil alih oleh golongan- golongan yang tidak bertanggung jawab seperti yang telah diberitakan dalam sebuah situs NU Online yaitu : Kehidupan beragama di Indonesia semakin tidak aman. Sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam telah serampangan mengambil alih masjid-masjid milik warga (Nahdlatul Ulama) NU dengan alasan bid’ah dan beraliran sesat. Allah SWT berfirman dalam Al Qur'an : ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. النحل 125 Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. "QS: An Nahl 125 فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى طه : 44 maka berbicaralah kamu berdua ( Musa dan Harun ) kepadanya( Fir'aun ) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." QS : Thaha 44 وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسْنًا البقرة 83 serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia." QS : Al Baqarah 83 Ayat-ayat diatas menjelaskan pada Ummat Islam bahwa ajakan menuju jalan Allah yang oleh ulama' ditafsiri dengan Agama Islam harus dengan menggunakan Hikmah, dan hikmah yang dimaksud dalam ayat tersebut diatas oleh ulama ditafsiri dengan burhan (dalil) atau hujjah, Allah juga memerintahkan untuk mengajak dengan Mau'idlah atau peringatan yang bagus. Dalam surat Thaha diatas Allah memerintahkan pada nabi Musa dan Harus AS. Untuk bertutur kata yang halus kepada Fir'aun, agar Fir'aun bisa sadar atau takut kepada Allah. Sampai selentur itu ajaran Allah untuk berda'wah, padahal kita ketahui bersama bagaimana kekejaman dan kerasnya fir'aun dalam menentang agama Allah SWT. akhirul kalam wassalamu'alaikum.wr.wb. DEVINISI AHLUSUNNAH WALJAMA’AH Dari segi bahasa, ahlussunnah berarti penganut sunnah Nabi, sedangkan ahlul jama’ah berarti penganut kepercayaan jama’ah para sahabat Nabi. Karena itu, kaum “Ahlussunnah wal Jama’ah” (ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah) adalah kaum yang menganut kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Kepercayaan Nabi dan sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi secara terpencar-pencar, yang kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama besar, yaitu Syeikh Abu al-Hasan al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun). Menurut Dr. Jalal Muhammad Musa dalam karyanya Nasy’ah al-Asy’âriyyah wa Tathawwurihâ, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah (Ahlussunnah wal Jama’ah) mengandung dua konotasi, ‘âmm (umum/global) dan khâshsh (spesifik). Dalam makna ‘âmm, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembanding Syi’ah, termasuk Mu’tazilah dan kelompok lainnya, sedangkan makna khâshsh-nya adalah kelompok Asy’ariyah (pengikut mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari) dalam pemikiran kalam. Dr. Ahmad ‘Abd Allah At-Thayyar dan Dr. Mubarak Hasan Husayn dari Universitas Al-Azhar mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mendapat petunjuk Allah Swt., dan mengikuti sunnah Rasul, serta mengamalkan ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara praktik dan menggunakannya sebagai manhaj (jalan pikiran) dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. … وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا.. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. al-Hasyr: 7). Dengan arti seperti di atas, apa yang masuk dalam kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, pertama-tama adalah para sahabat Nabi, para tabi’in dan tabiit-tabi’in, serta semua orang yang mengikuti jalan Nabi Muhammad Saw. sampai hari kiamat kelak. Al-Ustadz Abu al-Faidl ibn al-Syaikh ‘Abd al-Syakur al-Sanori dalam karyanya kitab al-Kawâkib al-Lammâ’ah fî Tahqîq al-Musammâ bi ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah’ menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa setia mengikuti sunnah Nabi Saw., dan petunjuk para sahabatnya dalam akidah, amaliah fisik (fiqh) dan akhlak batin (tashawwuf). Kelompok itu meliputi ulama kalam (mutakallimûn), ahli fikih (fuqahâ) dan ahli hadits (muhadditsûn) serta ulama tashawuf (shûfiyyah). Jadi, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah menurut ‘urf khâshsh (adat kebisaaan) adalah kelompok muhadditsin, shufiyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pengikut mereka inilah yang kemudian juga dapat disebut Ahlussunnah wal Jama’ah, dan selainnya tidak, dalam konteks ‘urf khâshsh tadi. Adapun menurut pengertian ‘âmm Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok atau golongan yang senantiasa setia melaksanakan sunnah Nabi Saw. dan petunjuk para sahabatnya. Dengan kata lain, substansi Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mereka yang memurnikan sunnah, sedangkan lawannya adalah ahli bid’ah (ahl al-bid’ah). Ahmad Amin dalam Zhuhr al-Islâm, juga menjelaskan bahwa sunnah dalam istilah ahl al-sunnah berarti hadis. Oleh karena itu, berbeda dengan kaum Mu’tazilah, Ahlussunnah percaya terhadap hadis-hadis sahih, tanpa harus memilih dan menginterpretasikannya. Adapun Jamâ’ah, dalam pandangan al-Mahbubi, adalah umumnya/mayoritas umat Islam (‘âmmah al-muslimîn) serta jumlah besar dan khalayak ramai (al-jamâ’ah al-katsîr wa al-sawâd al-a’zham). Secara lebih terperinci, al-Baghdadi menegaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah terdiri dari 8 (delapan) kelompok besar, yaitu: mutakallimin, fuqaha, ahli hadis, ahli bahasa, ahli qira’at, sufi atau zahid, mujahid, dan masyarakat awam yang berdiri di bawah panji-panji AhlussunnahwalJama’ah. Dua definisi ini menggambarkan adanya definisi yang bersifat terminologis (ishthilâhiy) dan definisi yang bersifat substantif. Ini artinya, dalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ada aspek jawhar atau hakekat dan ada aspek ‘ardl atau formal. Dalam dua aspek ini, apa yang mendasar adalah aspek jawhar-nya, sedangkan aspek ‘ardl-nya dapat mengalami revitalisasi dan pembaruan, karena terkait dengan faktor historis. Seperti diketahui, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah muncul berkaitan dengan hadirnya mazhab-mazhab, sehingga ketika hasil pemikiran mazhab yang bersifat relatif, atau tidak absolut itu mengalami revitalisasi, maka pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah pun harus dikembalikan kepada arti substansinya. Pengertian substansi Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks akidah adalah paham yang membendung paham akidah Syi’ah (dalam konteks historis juga paham akidah Mu’tazilah) yang dinilai sebagai kelompok bid’ah, yakni kelompok yang melakukan penyimpangan dalam agama karena lebih mengutamakan akal dari pada naql (Qur’an) dalam merumuskan paham keagamaan Islamnya. Dengan demikian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah secara substantif adalah kelompok yang setia terhadap sunnah, dengan menggunakan manhaj berpikir mendahulukan nashsh daripada akal. Sebagai gerakan, sebelum diinstitusikan dalam bentuk mazhab, kelompok ini melakukan pembaruan paham keagamaan Islam agar sesuai dengan sunnah atau ajaran murni Islam (purifikasi), sehingga orang Barat menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah dengan orthodox Sunni school. Di antara kelompok yang berhasil melakukan pembaruan seperti ini adalah pengikut Imam al-Asy’ari (Asy’ariyah). PENGERTIAN ASWAJA Bismillaahirrohmaanirrohiim Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunnah wal jama'ah. ada tiga kata yg membentuk kata tersebut. 1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut. 2. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yg datang dari Nabi Muhammad yang berupa perbuatan, ucapan, dan pengakuan Nabi Muhammad. 3. Al-Jama'ah, yaitu apa yg disepakati oleh para sahabat Rosulullah pd masa Khulafaur Rosyidin (Abu Bakar, Umar bin Khottob, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib) Kata al-Jama'ah ini diambil dari sabda Nabi saw: "Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yg damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-Jama'ah (HR. Tirmidzi dan Hakim, hadits shohih menurut al-Dzahabi) Syekh Abdul Qodir al-Jaelani (471-561 H) menjelaskan: "Al-Sunnah adl apa yg telah diajarkan oleh Rosulullah saw. (meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama'ah adalah segala sesuatu yg telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi saw. pada masa Khulafaur Rosyidin yang empat, yg telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kpd mereka semua) (Al-Ghunyah li Tholibi Thoriq al-Haqq, Juz 1, hal 80) Lebih jelas lagi hadratus syekh KH. Hasyim Asy'ari (1287-1336 H) menyebutkan dalam kitabnya Zidayat Ta'liqot hal. 23-24, sebagai berikut: "Adapun Ahlussunnah wal Jama'ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqh. Merekalah yg mengikuti dan berpegang teguh dg sunnah Nabi saw. dan sunnah Khulafaur Rosyidin sesudahnya. Mereka adalah kelompok yg selamat (al-Firqoh al-Najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu madzhab Hanafi, Syafii, Maliki dan Hanbali." Pada hakikatnya ajaran Nabi saw. dan para sahabatnya tentang aqidah itu sudah termaktub dalam al-Qur'an dan Sunnah. Akan tetapi masih berserakan dan belum tersusun secara sistematis. Baru pada masa setelahnya, ada usaha dari ulama' Ushuluddin yg besar yaitu Imam Abu Hasan al-Asy'ari yg lahir di Bashra tahun 260 H dan wafat tahun 324 H, juga Imam Abu Mansur al-Maturidi yg lahir di Maturid, Samarkand, Uzbekistan, dan wafat tahun 333 H, Ilmu Tauhid dirumuskan secara sistematis agar mudah dipahami. Kedua ulama' tersebut menulis kitab2 yg cukup banyak. Imam al-Asy'ari misalnya, menulis kitab al-ibanah 'an Ushul al-Diniyah, Maqolat al-Islamiyyin, dll. Sedangkan Imam al-Maturidi menulis kitab al-Tauhid, Ta'wilat Ahl al-Sunnah, dll. Karena jasa yg besar dari kedua ulama' tersebut, sehingga penyebutan Ahlussunnah wal Jama'ah selalu dikaitkan dengan kedua ulama' tersebut. Sayyid Murtadha al-Zabidi mengatakan: "Jika disebut Ahlussunnah wal jama'ah, maka yg dimaksud adl para pengikut Imam al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi (Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, juz 2 hal. 6) Pesantren2 di Indonesia secara umum mengajarkan Ilmu Tauhid menurut rumusan Imam al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi dengan menggunakan kitab yg lebih sederhana dan ditulis oleh para pengikut kedua imam tersebut, seperti kitab Kifayatul 'Awam, Ummul Barohain, 'Aqidatul 'Awam, dll. Dari penjelasan di atas, dpt dipahami Ahlussunnah wal jama'ah bukanlah aliran baru yg muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yg menyimpang dari ajaran Islam yg sebenarnya. Tetapi Ahlussunnah wal Jama'ah adalah Islam yang murni sebagaimana yg diajarkan Nabi saw. dan sesuai dg apa yg telah digariskan dan diamalkan oleh para sahabatnya. Aswaja merupakan singkatan akronim dari kata Ahlusunnah Waljamaah, yang oleh sebagian orang juga diringkas menjadi Sunni. Dalam pengertian praktisnya, Aswaja adalah golongan terbesar (al-sawad al-a’zham) dari umat Islam yang bersifat sinambung dari zaman ke zaman, yang memahami, mengamalkan, mempertahankan, dan mendakwahkan ajaran agama berdasarkan haluan keteladanan yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaih wa alihi wa sallam dan para sahabat radliyallahu ‘anhum ajma’in. Apa yang dimaksud haluan keteladanan ini memang masih abstrak (tidak tampak) sehingga menjadikan setiap golongan atau aliran merasa berhak menyatakan diri sebagai Aswaja. Cuma, sebagian ada yang mengidentifikasikan diri kepada Aswaja itu secara formal, dalam arti secara nama ingin disebut Ahlusunnah waljamaah, Sunni, atau Aswaja, dan sebagian lain hanya ingin mengidentifikasikan diri mereka secara substansial saja, dalam arti bahwa meskipun mereka tidak menamakan diri sebagai orang Sunni, Aswaja, atau Ahlusunnah, namun mereka tetap merujuk kepada hadis tentang firqah dan mengklaim merekalah golongan yang selamat itu. Di sinilah menurut beberapa penulis posisi kaum Syi’ah yang meskipun secara formal tidak mau disebut Ahlusunnah, namun secara substansial justru sangat mengakuinya. Bagaimanapun saling silang-sengketa tentang golongan atau aliran mana yang betul-betul Ahlusunnah, namun jika ditinjau dari segi perkembangan dan perbandingannya dengan berbagai aliran yang pernah muncul dalam sejarah umat Islam sejak masa awal, dapat dipahami secara umum bahwa nilai yang menjadi dasar atau karakter Ahlusunnah Waljamaah (Aswaja) setidaknya terdiri atas nilai i’tidal (keadilan/istiqamah), tawasuth, (penengah/moderat), tawazun (seimbang/proporsional), dan tasamuh (lapang dada/toleran). Di mana dapatnya? Sejarah yang menjadi saksi, karena jika mau memfokuskan kajian kepada sejarah Islam awal, pasca wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam sesungguhnya telah jelas di mana posisi para sahabat. Riwayat-riwayat yang menceritakan kronologi demi kronologi sampai peristiwa di daumah al-jandal pada ‘am al-jamaah sesungguhnya bisa dikumpulkan dan disusun secara lebih sistematis sehingga melahirkan rekonstruksi sejarah Aswaja pada zaman yang paling awal. Oleh karena itu, sungguhpun keempat nilai tersebut di atas tidak mencerminkan Aswaja secara mutlak, tetapi paling tidak ia telah terbukti memainkan peran penting dalam membingkai berbagai persoalan besar yang melibatkan agama, sehingga menjadi jelas perbedaannya dari aliran-aliran lainnya. Lihat misalnya khawarij, saba’iyyah, dan sebagainya yang sudah merupakan aliran akidah sehingga pantas disebut firqah, karena memang menyelisihi arus umum keberagamaan para sahabat secara akidah. Kemudian daripada itu, tinjauan secara kebahasaan menunjukkan bahwa keempat nilai dasar itu, yakni istilah i’tidal, tawasuth, dan tawazun sebenarnya dapat dirujuk kepada akar istilah sunnah yang menjadi satu identitas utama Aswaja, di samping istilah tasamuh yang merujuk kepada akar istilah jama’ah. Keempat istilah inilah yang secara tidak langsung membentuk satu bangunan identitas, yakni Ahlusunnah Waljamaah. Di samping itu, istilah jamaah juga diungkapkan dalam hadis lain sebagai al-sawad al-a’zham, yaitu mainstream atau arus umum sistem keberagamaan umat Islam. Inilah makna yang lebih tepat bagi Aswaja. Sejak zaman sahabat terdapat arus umum keberagamaan mereka yang diikuti oleh para tabiin, hatta dalam keadaan perang saudara sekalipun. Buktinya, ketika perang Jamal dan perang Shiffin, umat Islam memang terpecah kepada dua golongan yang saling berperang, meskipun akhirnya setelah peristiwa di daumah al-Jandal kembali bersatu. Kedua gololongan ini masih dalam arus umum, karena seluruh sahabat berada di salah satu antara dua golongan itu, meskipun faktanya ada sebagian sahabat yang secara fisik tidak melibatkan diri dalam perang. Adapun khawarij yang menyatakan keluar dari kedua golongan itu? Sejarah membuktikan tidak ada seorang sahabat pun yang pernah menerima dan mengakui keberadaan Khawarij, apalagi sampai ikut bergabung dengan mereka. Setelah menelaah dari berbagai referensi dan rujukan yang secara spesifik menjelaskan pengertian Ahlussunnah wa Al Jamaah, bisa difahami bahwa definisi Ahlussunnah wa Al jamaah ada dua bagian yaitu: definisi secara umum dan definisi secara khusus . * Definisi Aswaja Secara umum adalah : satu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik ( fiqih) dan hakikat ( Tasawwuf dan Ahlaq ) . * Sedangkan definisi Aswaja secara khusus adalah : Golongan yang mempunyai I’tikad / keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya’iroh dan Maturidiyah. Pada hakikatnya definisi Aswaja yang secara khusus bukan lain adalah merupakan juz dari definisi yang secara umum, karena pengertian Asya’iroh dan Ahlussunnah adalah golongan yang komitmen berpegang teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal aqidah. namun penamaan golongan Asya’iroh dengan nama Ahli sunnah Wa Al Jamaah hanyalah skedar memberikan nama juz dengan menggunakan namanya kulli. Syaih Al Baghdadi dalam kitabnya Al Farqu bainal Firoq mengatakan : pada zaman sekarang kita tidak menemukan satu golongan yang komitmen terhadap ajaran Nabi dan sahabat kecuali golongan Ahlussunnah wal jamaah. Bukan dari golongan Rafidah, khowarij, jahmiyah, najariyah, musbihah,ghulat,khululiyah, Wahabiyah dan yang lainnya. Beliau juga meyebutkan; bahwa elemen Alussunnah waljamaah terdiri dari para Imam ahli fiqih, Ulama’ Hadits, Tafsir, para zuhud sufiyah, ulama’ lughat dan ulama’-ulama’ lain yang berpegang teguh paa aqidah Ahli sunnah wal jamaah. secara ringkas bisa disimpulkan bahwa Ahlu sunnah wal jamaah adalah semua orang yang berjalan dan selalu menetapkan ajaran Rasulullah SAW dan para sahabat sebagai pijakan hukum baik dalam masalah aqidah, syari’ah dan tasawwuf. II. Pengertian Sunnah dan ajaran-ajarannya Kalimat Sunnah secara etimologi adalah Thoriqoh ( jalan ) meskipun tidak mendapatkan ridlo. Sedangan pengertian Sunnah secara terminlogi yaitu nama suatu jalan yang mendapakan ridlo yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW, para khulafa’ al Rosyidin dan Salaf Al Sholihin. Seperti yang telah disabdakan oleh Nabi : عَلَيكُمْ بِسُنَّتيِ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي Ikutilah tindakanku dan tindakan para khlafaurrosyidin setelah wafatku. Sedangkan pengertian kalimat Jamaah adalah golongan dari orang-orang yang mempunyai keagungan dalam Islam dari kalangan para Sahabat, Tabi’in dan Atba’ Attabi’in dan segenap ulama’ salaf As solihin. Setiap ajaran yang berdasarkan pada Usul Al syari’ah dan Fur’nya dan pernah dikerjakan oleh para nabi dan Sahabat sudah barang tentu merupakan ajaran yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wa aal jamaah seperti : Shalat Tarawih, witir, baca shalawat, ziarah kubur, mendo’akan orang yang sudah mati dll. III. Definisi Bid’ah Bid’ah dalam ma’na terminologi ( Syara’) menurut syaih Zaruq dalam kitabnya Iddah Al Marid yaitu semua perkara baru dalam agama yang menyerupai salah satu dari bentuk ajaran agama namun sebenarnya bukan termasuk dari bagian agama, baik dilihat dari sisi bentuknya maupun dari sisi hakikatnya. Dan pekara tersebut berkesan seolah-olah bagian dari jaran Islam seperti : membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan Shalat dengan diiringi alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan kaum mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham liberal yang marak akhir-akhir ini. Karena berdasarkan pada Ayat Al-Qur’an : " وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ البَيْتِ الاَّ مُكاَءً وَتَصْدِيَةً " الانفال 35 Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. QS: Al Anfal 35 Dan Hadits Nabi yang berbunyi: عن أم المؤمنين أم عبد الله عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ". Dari A’isyah RA. Rasulullah bersabda : barang siapa menciptakan hal baru dalam urusanku yang bukan termasuk dari golongan urusanku maka akan tertolak. HR. Bukhari dan Muslim Kalimat أحدث dalam Hadits diatas mengandung pengertian menciptakan dan membuat-buat suatu perkara yang didasari dari hawa nafsu. Sedangkan kalimat أمرنا mengandung suatu pengertian agama dan Syari’at yang telah di Ridlohi oleh Allah SWT. Rasulullah juga bersabda dalam sebuah Hadits : وروى مسلم في صحيحه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في خُطبَتِهِ : " خَيرُ الحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ, وَخَيرُ الهَدىِ هُدَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم, وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلُّ مُحْدَثةٍ بِدعَةٌ, وَكُلُّ بِدعَةٍ ضَلَالَةٌ" ورواه البيهقي وفيه زيادة " وكل ضلالة في النار" Rosululloh bersabda: “ paling bagusnya Hadits adalah Kitabnya Allah, dan paling bagusnya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW, dan paling jeleknya perkara adalah semua perkara yang baru, dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat”. HR. Muslim dan juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan tambahan kalimat “ setiap perkara sesat menempat dineraka” . Dari adanya dua Hadits diatas para ulama’ menjelaskan bahwa secara prinsip, bid’ah adalah berubahnya Suatu hukum yang disebabkan karena meyakini suatu perkara yang bukan merupakan bagian dari agama sebagai salah satu bagian dari agama, bukan berarti setiap perkara baru lantas dikategorikan bid’ah, karena banyak hal baru yang sesuai dengan Usul Al Syar’ah dan tidak dikategorikan bid’ah, atau hal-hal baru yang sesuai dengan Furu’ Al Syari’ah yang masih mungkin di tempuh dengan jalan Analogi atau qiyas sehingga tidak termasuk kategori Bid’ah . berarti tidak semua ritual yang baru serta-merta dikategorikan sebagai perbuatan bid’ah seperti ritual tahlil tujuh hari,40 hari dan seratus hari dari kematian mayat, ziarah kubur, tawassul, mendoakan orang mati dll. Imam Muhmmad Waliyuddin As Syabsiri dalam Syarah Arba’n Nawawi mengupas pengertian Hadits Nabi yang berbunyai : مَنْ أَحدَثَ حَدَثًا اَوْ آوَى مُحدثًا فَعَليهِ لَعْنَةُ اللهِ Barang siapa menciptakan perkara baru atau melindungi pencipta perkara baru mak dia berhak mendapatkan laknat Allah. Hadits tersebut diatas memasukkan berbagai bentuk bentuk bid’ah seper Aqad fasid, memberi hukum tanpa Ilmu, penyelewengan dan semua hal yang tidak sesuai dengan syari’at. Namun apabila perkara baru itu masih sesuai dengan qonun syari’at maka tidak termasuk kategori bid’ah seperti menulis mushaf, meluruskan madzhab, menulis ilmu nahwu ,Khisab dll. Syaih Izzuddin ibni Abdis Salam menggolongkan perkara baru ( Bid’ah ) menjadi lima hukum yaitu : 1. Bid’ah wajib seperti : mempelajari ilmu nawu, dan lafad-lafad yang ghorib dalam Al-Qur’an dn Hadits dan semua disiplin ilmu yang menjadi perantara untuk memahami syari’at. 2. Bid’ah Haram seperti : Faham Madzhab Qodariah, Jabariah dan Mujassimah. 3. Bid’ah Sunnah Seperti : Mendirikan Pondok, Madrasah dan semua perbuatan baik yang tidak pernah ditemukan pada masa dahulu. 4. Bid’ah Makruh Seperti : Menghias MAsjid dan Al-Qur’an. 5. Bid’ah Mubah seperti : Mushofahah (Jabat tangan) setelah Shalat Subuh dan Ashar dll. IV. Kriteria penggolongan Bid’ah Dalam menggolongkan perkara baru yang menimbulkan konsekwensi hukum yang berbeda-beda, Ulama’ telah membuat tiga kriteria dalam persoalan ini . 1. Jika perbuatan itu mempunyai dasar yang kuat berupa dalil-dalil syar’i, baik parsial ( juz’i ) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah, dan jika tidak ada dalil yang dibuat sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang. 2. Memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama’ salaf ( Ulama’ pada abad I,II dan III H , jika sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong Bid’ah. 3. Dengan jalan Qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliah yang telah ada hukumnya dari Nash Al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong Bid’ah yang diharamkan. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka tergolong perbuatan baru yang wajib. Dan begitu seterusnya. V. Hal-hal baru yang tidak tergolong Bid’ah Dari pengertian Bid’ah diatas, memberikan suatu natijah atau kesimpulan bahwa ada sebagian amal Bid’ah yang sesuai dengan syari’at dan justru ada yang hukumnya sunnat dan fardlu kifayah. Oleh sebab itu Imam Syafi’i berkata : " ما أَحْدَثَ وَخَالَفَ كِتَابًا اَو سُنَّةً او إِجمَاعًا او أثرًا فهو البِدْعَةُ الضَّالَّةُ, وَمَا أحْدَثَ مِنَ الخَيرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيئًا من ذلك فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُودَةُ " “ Perkara baru yang tidak sesuai dengan Kitab Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Atsar sahabat termasuk bid’ah yang sesat, dan perkara baru yang bagus dan tidak bertentangan dengan pedoman-pedoman tersebut maka termasuk Bid’ah yang terpuji “ 1. Ziarah kubur. Tidak diragukan sama sekali, bahwa hukum berziarah ke makam kerabat atau auliya’ adalah sunnah, dan hal ini telah disepakati oleh semua ulama’. Terdapat banyak Hadits yang menjelaskan kesunnahan ziarah kubur, diantaranya adalah : عن بريدة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " قَدْ كُنْتُ نَهَيتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمدٍ فيِ زِيَارةِ قَبرِ أُمِّهِ فَزُورُهَا فإنَّهَا تُذَكِّرُ الآخرةَ. رواه الترمذي “ dari Buraidah. Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda “ saya pernah melarang kamu berziarah kubur, tetapi sekarang Muhammad telah diberi izin untuk berziarah kemakam ibunya. Maka sekarang berziarahlah ! karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat. HR. Al Thirmidzi Ziarah kubur juga sunnah mu'akkad dilakukan di makam Rasulullah SAW dan juga makam para nabi yang lain, bahkan ada sebagian ulama' yang mewajibkan ziarah kubur kemakam Rasulullah SAW bagi orang yang mendatangi kota madinah. Namun sebaiknya ketika seseorang hendak melakukan ziarah ke makam Rosul hendaklah niat ziarah ke masjid Nabawi dan setelah itu baru melaksanakan ziarah ke makam Rosul dengan cara mengucapakan kalimat " السَّلاَمُ عَلَيكَ يَا رَسُولَ الله " dengan sura pelan dan penuh tata karma. Tersebut dalam sebuah Hadits: مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَمَاتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي } رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ ، وَابْنُ مَاجَهْ ،} Barang siapa berziarah padaku setelah wafatku, maka seakan akan dia berziarah padaku pada masa hidupku مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لهُ شَفَاعَتِي عن ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :"Dari Ibnu Umar RA. Sesungguhnya Rasulullah bersabda : barang siapa berziarah kemakamku, maka pasti akan mendapatkan Syafa'at ( pertolongan ) ku" HR. Al Thobroni 2.Tawassul. Kalimat Tawassul secara bahasa adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wasilah artinya adalah sesuatu yang dijadikan Allah SWT. Sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan pintu menuju kebutuhan yang diinginkan. Allah SWT berfirman : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. QS: Al Maidah : 35 Dengan demikian, tawassul tidak lebih dari sekedar upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, sedangkan wasilah adalah sebagai media dalam usaha tersebut. Tujuan utamanya tidak lain adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak ada sedikitpun keyakinan menyekutukan Allah SWT.( Syirik ). Kebolehan Tawassul juga telah disebutkan oleh Nabi dalam Haditsnya : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ," تَوَسَّلُوا بِي وَبِأَهْلِ بَيتيِ الىَ اللهِ فإنَّهُ لَا يُرَدُّ مُتَوَسِّلٌ بِنَا" " Rasulullah SAW bersabda : Bertawassullah kalian dengan aku dan dengan para keluargaku, sesungguhnya orang yang bertawassul dengan aku tidak akan ditolak"( HR.Ibnu Hibban ) 3. Tabarruk ( Mencari Berkah ) Secara Etimologi kata berkah berarti tambah, berkembang. Selanjutnya kata barokah digunakan dalam pengertian bertambahnya kebaikan dan kenuliyaan. Jadi Barokah adalah rahasia dan pemberian Allah SWT yang dengannya akan bertambah amal- amal kebaikan., mengabulkan keinginan, menolak kejahatan dan membuka pintu menuju kebaikan dengan anugrah Allah SWT. Dari pengertian ini barokah adalah bagian dari rahmat dan anugerah Allah SWT. Allah SWT berfirman : وَجَعَلَنيِ مُبَارَكًا أَيْنَمَا كُنْتَ. مريم 31 " Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada " QS : maryam 31 "رَحَمْةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيكُم أَهلَ البَيتِ "هود 73 " Rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait ! Para ulama' telah banyak membicarakan hukum mengambil barokah, dan berkesimpulan bahwa mengambil barokah dari orang , tempat atau benda hukumnya adalah boleh dengan syarat tidak dilakukan dengan cara-cara yang menyimpang syari'at Allah SWT. Berikut adalah dalil-dalil kebolehan mengambil berkah : وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. البقرة 248 Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.QS: Al-Baqarah 248 عن ابن جدعان: قال ثابت لأنس رضي الله عنه : أَمَسَسْتَ النبيَ صلى الله عليه وسلم قال نَعَمْ فَقَبَّلَهَا . رواه البخاري " Dari Ibnu Jad'an, berkata Tsabit kepada Anas ra : Apakah tanganmu pernah menyentuh Nabi SAW ? Anas menjawab : ya, maka Tsabit menciumnya ". HR. Bukhori Diriwayatkan oleh Al Khotib dari Ali dari Maimun, berkata : aku mendengar Imam Syafi'I berkata : " sesungguhnya aku mengambil barokah dari Abu Khanifah dan aku mendatangi makamnya setiap hari, maka jika aku mempunyai hajat, aku shalat dua rakaat dan mendatangi makam Abu Hanifah lalu berdo'a meminta kepada Allah SWT. Tidak lama kemudian hajatku terpenuhi". Kesimpulannya, mengambil barokah dari orang-orang yang shaleh adalah perbuatan yang terpuji. Apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi serta pengukuhan dari Rasulullah SAW cukup untuk dijadikan sebagai dalil. 4. Selamatan & Berdo'a untuk orang mati Ritual mendoakan orang mati sudah biasa dilakukan bahkan sudah menjadi adat orang jawa setiap kali ada salah satu keluarga yang meninggal mereka mengadakan selamatan dihari ke-7 atau ke-40 dari kematian keluarganya dengan mengundang tetangga setempat dan dimintai bantuan untuk membaca surat Yasin, Tahlil dan berdo'a untuk mayat. Hal tersebut diatas diperbolehkan menurut Syari'at, bahkan bagian dari amal ibadah yang pahalanya bisa sampai kepada yang meninggal. Bukankah bacaan Al-Qur'an, Tahlil dan bersedekah, menyajikan suguhan untuk para tamu adalah bagian dari amal Ibadah. Dalam sebuah Hadits dinyatakan : عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه, أَنَّ النَبِيَّ صلى عليه وسلم سُئِلَ فقال السَائِلُ يا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوتَانَا وَنَحُجُّ عَنهُمْ وَنَدْعُو لَهُمْ هَلْ يَصِلُ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ ؟ قَالَ : نَعَمْ إنَّهُ لَيَصِلُ إِلَيْهِمْ وَإِنَّهُمْ لَيَفْرَحُونَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بالطَّبْقِ إذاَ أُهْدِيَ إِلَيْهِمْ. رواه ابو حفص العكبري Dari Anas ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya seseorang: " wahai Rasulullah SAW, kami bersedekah dan berhaji yang pahalanya kami peruntukkan orang-orang kami yang telah meninggal dunia dan kami berdoa untuk merek, apakah pahalanya sampai pada mereka ? Rasulullah SAW menjawab : Iya, pahalanya betul-betul sampai kepada mereka dan mereka sangat merasa gembira sebagaimana kalian gembira apabila menerima hadiah. HR. Abu Khafs Al Akbari. VI. Sekilas Pembaharuan Agama Ketika keintelektualan lebih mengedepankan nafsu serta semangat yang menggebu-gebu dengan dalih memurnikan agama tanpa disertai dengan pemahaman agama secara benar, maka yang terjadi justru pembaharuan- pembaharuan yang menyimpang dari ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. pada pembahasan ini akan mengetengahkan pembaharu-pembaharu ( Mujaddid) Islam yang telah melakukan banyak penyimpangan dari ajaran Islam yang murni. 1. Faham Ibnu Taimiyah Di akhir masa 600 H, muncullah seorang laki-laki yang jenius yang telah banyak menguasai berbagai jenis disiplin ilmu, dialah Taqiyuddin ahmad bin Abdul Hakim yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Ia dilahirkan di desa Heran, sebuah desa kecil di Palestina. Ia hidup sezaman dengan Imam Nawawi salah satu ulama; terbesar madzhab Syafi'i. Ia merupakan sosok pribadi yang memiliki karakter pemberani, yang selalu mencurahkan segala sesuatu untuk madzhabnya, dengan keberanian yang ia miliki, ia telah menemukan hal baru yang sangat tabu dan jauh dari kebenaran, karena yang menjadi dasar pendiriannya ialah mengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits nabi Muhammad yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan menurut arti lafadznya yang dlohir, yakni hanya secara harfiyah saja, oleh sebab itu menurut Ibnu Taimiyah " Tuhan itu memiliki muka, tangan, rusuk dan mata, duduk bersila, dating dan pergi, tuhan adalah cahaya langit dan bumi karena katanya semua itu disebut dalam Al Qur'an". Kontroversi yang ia ucapkan tidak hanya terbatas pada permasalahan ilmu kalam, melainkan juga menyinggung beberapa permasalahan ilmu fiqih : * Bepergian dengan tujuan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat hukumnya maksiat * Talak tiga tidak terjadi ketika diucapkan dengan sekaligus ( hanya jatuh satu ) * Seorang yang bersumpah akan mencerai istrinya , lalu ia melanggar sumpahnya, maka perceraian itu tidak terjadi. 2. Faham Wahabi Pada pertengahan kurun ke 12 muncul seorang yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang berdomisili di Najd yang termasuk kawasan Hijaz, ia dilahirkan pada tahun 1111 H, dan meninggal pada tahun 1207 H. pada mulanya ia memperdalam ilmu agama dari ulama'-ulama; ahli sunnah di makkah dan madinah termasuk diantaranya adalah syaih Muhammad Sulaiman Al Kurdi dan syaih Muhammad Hayyan Assindi, diantara guru yang pernah mengajarkan ilmu kepadanya, jauh sebelum ia membuat pergerakan telah berfirasat kalau disuatu hari nanti ia tergolong orang yang sesat dan menyesatkan, itupun akhirnya menjadi kenyataan, firasat ini juga dirasakan oleh ayah dan saudaranya ( Syeh Sulaiman ). Muhammad bin Abdul Wahab pada masa mudanya banyak membaca buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan pemuka-pemuka lain yang sesat, sehingga ahirnya membangun faham Wahabiyah yang terpusat ditanah Hijaz sebagai penerus tongkat estafet dari ajaran Ibnu Taimiyah, bahkan lebih extrim dan radikal daripada Ibnu Taimiyah sendiri, sebab ia sangat mudah memberikan label kafir kepada setiap orang yang tidak mau mengikuti fahamnya. Langkah yang ia tempuh dalam mengembangkan fahamnya ialah dengan memberikan tambahan- tambahan baru dari ajaran Ibnu Taimiyah yang semula dianutnya. * Poin-poin dasar faham wahabiyah 1. Allah adalah suatu jisim yang memiliki wajah, tangan dan menempat sebagaimana mahluq juga sesekali naik dan turun ke bumi. 2. Mengedapankan dalil Naqli daripada dalil aqli serta tidak memberikan ruang sedikitpun pada akal dalam hal-hal yang berkenaan dengan agama ( keyakinan) 3. Mengingkari Ijma' ( Konsensus ) 4. Menolak Qiyas ( Analogi ) 5. Tidak memperbolehkan Taqlid kepada Ulama' Mujtahidin dan mengkufurkan kepada siapapun yang taqlid kepada mereka 6. Mengkufurkan kepada ummat Islam yang tidak sefaham dengan ajarannya 7. Melarang keras bertawassul kepada Allah melalui perantara para Naabi, Auliya' dan orang- orang sholeh 8. Memvonis kafir kepada orang yang bersumpah dengan menyebut nama selain Allah 9. menghukumi kafir kepada siapa saja yang bernadzar untuk selain Allah. 10. Menghukumi kafir kepada secara muthlak kepada siapapun yang menyembelih disisi makam para nabi atau orang-orang Sholeh. Perkembangan ajaran Wahabiyah yang disinyalir melalui cendekiawan-cendekiawan pada akhirnya juga sampai di tanah air kita Indonesia, hal ini diawali dengan maraknya pergerakan-pergerakan diawal abad ke-20 yang bertopeng keagamaan. Diawali dengan terbentuknya organisasi Wathoniyah pada tahun 1908 M. kemudian disusul organisasi Serikat Islam pada tahun yang sama, hanya saja berkecimpung dalam masalah perdagangan. Dan puncaknya dibentuklah sebuah ormas pada tanggal 18 Desember 1912 oleh seorang cendekiawan yang berfaham Wahabi, kendati organisasi ini lebih berorientasi pada masalah social keagamaan, namun kelahirannya dibumi pertiwi ini menyebabkan keretakan diantara Muslim Indonesia yang pada umumnya berhaluan faham Ahli Sunnah Wal jamaah, Propaganda yang dilakukan oleh cendekiawan wahabi ialah dengan melakukan pendekatan pada masyarakat awam, setelah terpedaya kemudian mereka mengeluarkan trik-trik baru yang justru lebih berbahaya dampaknya, yaitu dengan menanamkan benih-benih permusuhan dan rasa sentiment pada para ulama' salaf dan golongan yang tidak sefaham dengan mereka. 3. Faham Ahmadiyah Pendiri golongan ini bernama Mirza Ghulam Ahmad, ia dilahirkan didesa Qodliyan Punjab Pakistan pada tahun 1836 M. dia tidak hanya mengaku sebagai imam Mahdi yang ditunggu, Mujaddid dan juru selamat,tetapi stelah ia berumur 54 tahun ia memproklamirkan diri sebagai nabi yang paling akhir sesudah nabi Muhammad SAW dan benar-benar mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Poin-Poin faham Ahmadiyah yang menyimpang dari Syari'at 1. Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi terahir 2. Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa yang dijanjikan. 3. Syari'at Islam belum sempurna, tetapi disempurnakan oleh Syari'at Mirza Ghulam Ahmad. 4. Jaringan Islam Liberal Belakangan ini gegap gempita pemikiran dan aliran yang muncul dikalangan Islam di Indonesia begitu deras, sehingga berimplikasi pada sebuah kebebasan yang seakan tak terbatas. Disana-sini bermunculan aliran dan sekte-sekte, termasuk salah satunya adalah Jaringan Islam Liberal ( JIL ). Sebagai komunitas yang berslogan " Menuju Islam yang ramah, toleran dan membebaskan " JIL hadir layaknya sebuah alternatif yang begitu intelektual dan cerdas. Mereka begitu Ofensif sehingga berhasil menciptakan jaringan dengan tidak kurang dari 51 koran dan membuat radio 68 Hyang beberapa acaranya dipancarluaskan oleh jaringan KBR 68 H diseluruh Indonesia. Maka tak heran apabila pemikiran-pemikirannya begitu kuat mempengaruhi ummat. Madzhab liberal merupakan aliran pemikiran Islam Indonesia yang menekankan pada kebebasan berfikir dan tidak lagi terikat dengan madzhab-madzhab pemikiran keagamaan ( terutama Islam ) pada umumnya, melampaui batas-batas cara berpikir sectarian organisasi dan politik. Bagi Madzhab liberal, yang paling penting adalah perlunya tradisi kritis dan perlunya Dekonstruksi atas pemahaman lama yang telah berkembang ratusan tahun. Islam seharusnya difahami secara modern dan rasional, karena Islam merupakan agama yang rasional dan mengutamakan rasionalitas yang dalam bentuk konkritnya berupa Ijtihad. Islam harus dipahami secara kontekstual, progressif dan emansipatoris. Dengan pemahaman seperti ini maka Islam akan mengalami kemajuan, bukannya kemunduran. VII. Metode Pembentengan Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah Dalam membentengi aqidah Ahlus Sunnah wal jamaah agar tetap eksis dan menjadi panutan masyarakat, tentunya perlu diterapkan metode yang jitu dan tidak terkesan radikal. Upaya penyampaian tentang pentingnya mempertahankan aqidah ahli sunnah wal jamaah bisa ditempuh dengan berbagai macam cara, seperti memberikan pemahaman yang mendalam tentang hakikat aswaja dan bahayanya mengikuti faham- faham sesat yang banyak bermunculan melalui pertemuan- pertemuan khusus atau melalui majelis Dzikir, ketika Masyarakat berkumpul di Masjid untuk melaksanakan Shalat atau pengajian dan berbagai moment keagamaan lainnya. Islam mengajarkan pada penganutnya untuk berda'wah dan mengajak sesama menuju kejalan yang benar dengan cara-cara yang terpuji, hal itu telah diuraikan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Seperti halnya ajaran tentang mengajak masuk Islam dengan hikmah atau dalil dan hujjah juga dengan mau'idlah yang ada dalam ayat Al-Qur'an, dan hal itu tentu harus dengan menggunakan adab dan tata karma yang baik. Karena agama Islam identik dengan nasihat yang halus dan jauh dari kekerasan. Banyak media yang bisa kita gunakan untuk menyampaikan nilai-nilai Aswaja kepada masyarakat luas yang selama ini masih minim dipraktekkan sebab kurangnya rasa peduli dari para nahdliyin. Pengoptimalan Fungsi Masjid Sebenarnya fungsi asal dibangunnya masjid selain untuk shalat seperti yang telah dijelaskan oleh Imam Samarqondi adalah sebagai tempat untuk Dzikir, Takbir, Tahlil, Menyiarkan Islam dan menjauhkan dari perbuatan syirik. Oleh sebab itu sudah saatnya para Ta'mir masjid dan pemuka agama mengaplikasikan fungsi- fungsi tersebut dengan mengadakan Khalaqah diwaktu-waktu tertentu untuk menyampaikan nilai-nilai faham Aswaja dengan tujuan menyelamatkan masyarakat dari pengaruh faham yang sesat dan menyesatkan. Oleh karenanya pengoptimalan fungsi masjid dengan cara digunakan sebagai media penyampaian aqidah yang tegak sangat mutlaq diperlukan dizaman sekarang, mengingat bahayanya faham-faham baru yang berkedok Islam namun jauh melenceng dari nilai-nilai Islam secara sempurna. Apabila upaya pengoptimalan tersebut telah kita lakukan, sedikit banyak masyarakat akan faham tentang Aswaja dan bahaya akiran-aliran sesat. Dan masjid yang kita miliki semakin tampak manfaat dan fungsi-fungsinya. Jangan sampai Masjid yang kita rawat dan kita tempati sehari-hari diambil alih oleh golongan- golongan yang tidak bertanggung jawab seperti yang telah diberitakan dalam sebuah situs NU Online yaitu : Kehidupan beragama di Indonesia semakin tidak aman. Sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam telah serampangan mengambil alih masjid-masjid milik warga (Nahdlatul Ulama) NU dengan alasan bid’ah dan beraliran sesat. Allah SWT berfirman dalam Al Qur'an : ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. النحل 125 Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. "QS: An Nahl 125 فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى طه : 44 maka berbicaralah kamu berdua ( Musa dan Harun ) kepadanya( Fir'aun ) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." QS : Thaha 44 وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسْنًا البقرة 83 serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia." QS : Al Baqarah 83 Ayat-ayat diatas menjelaskan pada Ummat Islam bahwa ajakan menuju jalan Allah yang oleh ulama' ditafsiri dengan Agama Islam harus dengan menggunakan Hikmah, dan hikmah yang dimaksud dalam ayat tersebut diatas oleh ulama ditafsiri dengan burhan (dalil) atau hujjah, Allah juga memerintahkan untuk mengajak dengan Mau'idlah atau peringatan yang bagus. Dalam surat Thaha diatas Allah memerintahkan pada nabi Musa dan Harus AS. Untuk bertutur kata yang halus kepada Fir'aun, agar Fir'aun bisa sadar atau takut kepada Allah. Sampai selentur itu ajaran Allah untuk berda'wah, padahal kita ketahui bersama bagaimana kekejaman dan kerasnya fir'aun dalam menentang agama Allah SWT. akhirul kalam wassalamu'alaikum.wr.wb.



BY POSTING IMaiiM

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

1 komentar:

semoga bermanfaat bagi semua umat islam

Posting Komentar